asuhan keperawatan

ASKEP BRONCHOPNEUMONIA
Asuhan Keperawatan(askep)klien dengan bronchopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572)

Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan juga melibatkan bronchi. (Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 1995 : 710)
Menurut Whaley & Wong, Bronchopneumonia adalah bronkiolus terminal yang tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang terkonsolidasi atau membentuk gabungan di dekat lobulus, disebut juga pneumonia lobaris.

Bronchopneumonia adalah suatu peradangan paru yang biasanya menyerang di bronkeoli terminal. Bronkeoli terminal tersumbat oleh eksudat mokopurulen yang membentuk bercak-barcak konsolidasi di lobuli yang berdekatan. Penyakit ini sering bersifat sekunder, menyertai infeksi saluran pernafasan atas, demam infeksi yang spesifik dan penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh.(Sudigdiodi dan Imam Supardi, 1998)

Kesimpulannya bronchopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen infeksius dan terdapat di daerah bronkus dan sekitar alveoli.

ETIOLOGI
Secara umun individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh adanya penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen. Orang yang normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang terdiri atas : reflek glotis dan batuk, adanya lapisan mukus, gerakan silia yang menggerakkan kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat.
Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, mikobakteri, mikoplasma, dan riketsia. (Sandra M. Nettiria, 2001 : 682) antara lain:
1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococcus, H. Influenzae, Klebsiella.
2. Virus : Legionella pneumoniae
3. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
4. Aspirasi makanan, sekresi orofaringeal atau isi lambung ke dalam paru-paru
5. Terjadi karena kongesti paru yang lama.
Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora normal yang terjadi pada pasien yang daya tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi flora normal yang terdapat dalam mulut dan karena adanya pneumocystis cranii, Mycoplasma. (Smeltzer & Suzanne C, 2002 : 572 dan Sandra M. Nettina, 2001 : 682)


PATHOFISIOLOGI
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi makanan dan minuman.
Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut masukl ke saluran pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman di tempat tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran pernafasan dengan ganbaran sebagai berikut:
6. Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli.
7. Ekspansi kuman melalui pembuluh darah kemudian masuk ke dalam saluran pencernaan dan menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal dalam usus, peristaltik meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi dan kemudian terjadilah diare yang beresiko terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
(Soeparman, 1991)




MANIFESTASI KLINIS
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh suatu infeksi di saluran pernafasan bagian atas selama beberapa hari. Pada tahap awal, penderita bronchopneumonia mengalami tanda dan gejala yang khas seperti menggigil, demam, nyeri dada pleuritis, batuk produktif, hidung kemerahan, saat bernafas menggunakan otot aksesorius dan bisa timbul sianosis.
(Barbara C. long, 1996 :435)
Terdengar adanya krekels di atas paru yang sakit dan terdengar ketika terjadi konsolidasi (pengisian rongga udara oleh eksudat).
(Sandra M. Nettina, 2001 : 683)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk dapat menegakkan diagnosa keperawatan dapat digunakan cara:
8. Pemeriksaan Laboratorium
· Pemeriksaan darah
Pada kasus bronchopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis (meningkatnya jumlah neutrofil). (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
· Pemeriksaan sputum
Bahan pemeriksaan yang terbaik diperoleh dari batuk yang spontan dan dalam. Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis dan untuk kultur serta tes sensitifitas untuk mendeteksi agen infeksius. (Barbara C, Long, 1996 : 435)
· Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam basa. (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
· Kultur darah untuk mendeteksi bakteremia
· Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk mendeteksi antigen mikroba. (Sandra M. Nettina, 2001 : 684)
9. Pemeriksaan Radiologi
· Rontgenogram Thoraks
Menunjukkan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai pada infeksi pneumokokal atau klebsiella. Infiltrat multiple seringkali dijumpai pada infeksi stafilokokus dan haemofilus. (Barbara C, Long, 1996 : 435)
· Laringoskopi/ bronkoskopi untuk menentukan apakah jalan nafas tersumbat oleh benda padat. (Sandra M, Nettina, 2001)

DIAGNOSA KEPERAWATAN
10. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum. (Doenges, 1999 : 166)
11. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler, gangguan kapasitas pembawa aksigen darah, ganggguan pengiriman oksigen. (Doenges, 1999 : 166)
12. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli. (Doenges, 1999 :177)
13. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan berlebih, penurunan masukan oral. (Doenges, 1999 : 172)
14. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia yang berhubungan dengan toksin bakteri bau dan rasa sputum, distensi abdomen atau gas.( Doenges, 1999 : 171)
15. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas sehari-hari. (Doenges, 1999 : 170)

FOKUS INTERVENSI
16. DP : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan edema, peningkatan produksi sputum
Tujuan :
- Jalan nafas efektif dengan bunyi nafas bersih dan jelas
- Pasien dapat melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekret
Hasil yang diharapkan :
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/ jelas
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
Misalnya: batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas. Misalnya: mengi, krekels dan ronki.
Rasional: Bersihan jalan nafas yang tidak efektif dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas adventisius
Kaji/ pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi/ ekspirasi
Rasional: Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres/ adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
Berikan posisi yang nyaman buat pasien, misalnya posisi semi fowler
Rasional: Posisi semi fowler akan mempermudah pasien untuk bernafas
Dorong/ bantu latihan nafas abdomen atau bibir
Rasional: Memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dipsnea dan menurunkan jebakan udara
Observasi karakteristik batik, bantu tindakan untuk memoerbaiki keefektifan upaya batuk.
Rasional: Batuk dapat menetap, tetapi tidak efektif. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau kepala di bawah setelah perkusi dada.
Berikan air hangat sesuai toleransi jantung.
Rasional: Hidrasi menurunkan kekentalan sekret dan mempermudah pengeluaran.
2. DP : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolus kapiler, gangguan kapasitas pembawa oksigen darah, gangguan pengiriman oksigen.
Tujuan :
- Perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada distres pernafasan.
Hasil yang diharapkan :
- Menunjukkan adanya perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan
- Berpartisispasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigenasi
Intervensi :
a. kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan pernafasan
Rasional :Manifestasi distres pernafasan tergantung pada derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum
b. Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku. Catat adanya sianosis
Rasional :Sianosis menunjukkan vasokontriksi atau respon tubuh terhadap demam/ menggigil dan terjadi hipoksemia.
c. Kaji status mental
Rasional :Gelisah, mudah terangsang, bingung dapat menunjukkan hipoksemia.
d. Awsi frekuensi jantung/ irama
Rasional :Takikardi biasanya ada karena akibat adanya demam/ dehidrasi.
e. Awasi suhu tubuh. Bantu tindakan kenyamanan untuk mengurangi demam dan menggigil
Rasional :Demam tinggi sangat meningkatkan kebutuhan metabolik dan kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluler.
f. Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam, dan batuk efektif
Rasional :Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiaki ventilasi.
g. Kolaborasi pemberian oksigen dengan benar sesuai dengan indikasi
Rasional :Mempertahankan PaO2 di atas 60 mmHg.
DP: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi dalam alveoli
Tujuan:
- Pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang normal dan paru jelas/ bersih
Intervensi :
a. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
Rasional :Kecepatan biasanya meningkat, dispnea, dan terjadi peningkatan kerja nafas, kedalaman bervariasi, ekspansi dada terbatas.
b. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius.
Rasional :Bunyi nafas menurun/ tidak ada bila jalan nafas terdapat obstruksi kecil.
c. Tinggikan kepala dan bentu mengubah posisi.
Rasional :Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernafasan.
d. Observasi pola batuk dan karakter sekret.
Rasional :Batuk biasanya mengeluarkan sputum dan mengindikasikan adanya kelainan.
e. Bantu pasien untuk nafas dalam dan latihan batuk efektif.
Rasional :Dapat meningkatkan pengeluaran sputum.
f. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan.
Rasional :Memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas.
g. Berikan humidifikasi tambahan
Rasional :Memberikan kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret untuk memudahkan pembersihan.
h. Bantu fisioterapi dada, postural drainage
Rasional :Memudahkan upaya pernafasan dan meningkatkan drainage sekret dari segmen paru ke dalam bronkus.
Dp : Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilngan cairan berlebih, penurunan masukan oral.
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan dan elektrolit
Intervensi :
Kaji perubahan tanda vital, contoh :peningkatan suhu, takikardi,, hipotensi.
Rasional :Untuk menunjukkan adnya kekurangan cairan sisitemik
Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
Rasional :Indikator langsung keadekuatan masukan cairan
Catat lapporan mual/ muntah.
Rasional :Adanya gejala ini menurunkan masukan oral
Pantau masukan dan haluaran urine.
Rasional :Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi.
Rasional :Memperbaiki ststus kesehatan
DP : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi abdomen.
Tujuan :
- Menunjukkan peningkatan nafsu makan
- Mempertahankan/ meningkatkan berat badan
Intervensi :
a. Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/ muntah.
Rasional :Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah
b. Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin, bantu kebersihan mulut.
Rasional :Menghilangkan bahaya, rasa, bau,dari lingkungan pasien dan dapat menurunkan mual
c. Jadwalkan pengobatan pernafasan sedikitnya 1 jam sebelum makan.
Rasional :Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan pengobatan ini
d. Auskultasi bunyi usus, observasi/ palpasi distensi abdomen.
Rasional :Bunyi usus mungkin menurun bila proses infeksi berat, distensi abdomen terjadi sebagai akibat menelan udara dan menunjukkan pengaruh toksin bakteri pada saluran gastro intestinal
e. Berikan makan porsi kecil dan sering termasuk makanan kering atau makanan yang menarik untuk pasien.
Rasional :Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun nafsu makan mungkin lambat untuk kembali
f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.
Rasional :Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap infeksi, atau lambatnya responterhadap terapi
DP : Intoleransi aktifitas berhubungan dengan insufisiensi oksigen untuk aktifitas hidup sehari-hari.
Tujuan : Peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
Intervensi :
Evakuasi respon pasien terhadap aktivitas.
Rasional :Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama fase akut.
Rasional :Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan, meningkatkan istirahat
Jelaskan pentingnya istitahat dalam rencana pengobatan dan perlunya keseimbamgan aktivitas dan istirahat.
Rasional :Tirah baring dipertahankan untuk menurunkan kebutuhan metabolik
Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.
Rasional :Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan :Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :EGC
Nettina, Sandra M. (1996). Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta :EGC
Long, B. C.(1996). Perawatan Madikal Bedah. Jilid 2. Bandung :Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Soeparma, Sarwono Waspadji. (1991). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta :Balai Penerbit FKUI
Sylvia A. Price, Lorraine Mc Carty Wilson.
(1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :EGC



Askep Anak dengan Bronkitis

Pengertian
Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan respiratorik dengan batuk merupakan gejala yang utama dan dominan. Ini berarti bahwa bronkitis bukan penyakit yang berdiri sendiri melainkan bagian dari penyakit lain tetapi bronkitis ikut memegang peran.( Ngastiyah, 1997 )

Bronkitis berarti infeksi bronkus. Bronkitis dapat dikatakan penyakit tersendiri, tetapi biasanya merupakan lanjutan dari infeksi saluran peranpasan atas atau bersamaan dengan penyakit saluran pernapasan atas lain seperti Sinobronkitis, Laringotrakeobronkitis, Bronkitis pada asma dan sebagainya (Gunadi Santoso, 1994)
Sebagai penyakit tersendiri, bronkitis merupakan topik yang masih diliputi kontroversi dan ketidakjelasan di antara ahli klinik dan peneliti. Bronkitis merupakan diagnosa yang sering ditegakkan pada anak baik di Indonesia maupun di luar negeri, walaupun dengan patokan diagnosis yang tidak selalu sama.(Taussig, 1982; Rahayu, 1984)
Kesimpangsiuran definisi bronkitis pada anak bertambah karena kurangnya konsesus mengenai hal ini. Tetapi keadaan ini sukar dielakkan karena data hasil penyelidikan tentang hal ini masih sangat kurang.

2. Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil O2 yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran, mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme .

a. Hidung
Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh sekat septum nasi. Di dalamnya terdapat bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk mengahangatkan udara.

b. Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar pernapasan, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening.

c. Laring
Merupakan saluran udara dan bertindak sebelum sebagai pembentuk suara. Terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglottis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis.

d. Trakea
Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 – 20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan.

e. Bronkus
Merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra thorakalis IV dan V. mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 – 8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 – 12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru yang disebut alveolli.

f. Paru-paru
Merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari gelembung-gelembung. Di sinilah tempat terjadinya pertukaran gas, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah.

3. Klasifkasi
a. Bronkitis Akut
Bronkitis akut pada bayi dan anak biasanya juga bersama dengan trakeitis, merupakan penyakit saluran napas akut (ISNA) yang sering dijumpai.

b. Bronkitis Kronik dan atau Batuk Berulang
Bronkitis Kronik dan atau berulang adalah kedaan klinis yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit 3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik dan non respiratorik lainnya (KONIKA, 1981). Dengan memakai batasan ini maka secara jelas terlihat bahwa Bronkitis Kronik termasuk dalam kelompok BKB tersebut. Dalam keadaan kurangnya data penyelidikan mengenai Bronkitis Kronik pada anak maka untuk menegakkan diagnosa Bronkitis Kronik baru dapat ditegakkan setelah menyingkirkan semua penyebab lainnya dari BKB.

4. Etiologi
Penyebab utama penyakit Bronkitis Akut adalah adalah virus. Sebagai contoh Rhinovirus Sincytial Virus (RSV), Infulenza Virus, Para-influenza Virus, Adenovirus dan Coxsakie Virus. Bronkitis Akut selalu terjadi pada anak yang menderita Morbilli, Pertusis dan infeksi Mycoplasma Pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer Bronkitis Akut pada anak. Di lingkungan sosio-ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksi saluran napas atas dapat memudahkan terjadinya bronkitis akut.
Sedangkan pada Bronkitis Kronik dan Batuk Berulang adalah sebagai berikut :

a. Spesifik
1) Asma
2) Infeksi kronik saluran napas bagian atas (misalnya sinobronkitis).
3) Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi mycoplasma, hlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur.
4) Penyakit paru yang telah ada misalnya bronkietaksis.
5) Sindrom aspirasi.
6) Penekanan pada saluran napas
7) Benda asing
8) Kelainan jantung bawaan
9) Kelainan sillia primer
10) Defisiensi imunologis
11) Kekurangan anfa-1-antitripsin
12) Fibrosis kistik
13) Psikis

b. Non-spesifik
1. Asap rokok
2. Polusi udara
3. Patofisiologi

c. Virus
(penyebab tersering infeksi) - Masuk saluran pernapasan - Sel mukosa dan sel silia - Berlanjut - Masuk saluran pernapasan(lanjutan) - Menginfeksi saluran pernapasan - Bronkitis - Mukosa membengkak dan menghasilkan lendir - Pilek 3 – 4 hari - Batuk (mula-mula kering kemudian berdahak) - Riak jernih - Purulent - Encer - Hilang - Batuk - Keluar - Suara ronchi basah atau suara napas kasar - Nyeri subsernal - Sesak napas - Jika tidak hilang setelah tiga minggu - Kolaps paru segmental atau infeksi paru sekunder (pertahanan utama) (Sumber : dr.Rusepno Hasan, Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, 1981)

6. Tanda dan gejala
Menurut Gunadi Santoso dan Makmuri (1994), tanda dan gejala yang ada yaitu :
- Biasanya tidak demam, walaupun ada tetapi rendah
- Keadaan umum baik, tidak tampak sakit, tidak sesak
- Mungkin disertai nasofaringitis atau konjungtivitis
- Pada paru didapatkan suara napas yang kasar
Menurut Ngastiyah (1997), yang perlu diperhatikan adalah akibat batuk yang lama, yaitu :
- Batuk siang dan malam terutama pada dini hari yang menyebabkan klien murang istirahat
- Daya tahan tubuh klien yang menurun
- Anoreksia sehingga berat badan klien sukar naik
- Kesenangan anak untuk bermain terganggu
- Konsentrasi belajar anak menurun

7. Komplikasi
a. Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik
b. Pada anak yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan gizi kurang dapat
terjadi Othithis Media, Sinusitis dan Pneumonia
c. Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi
d. Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasisi atau Bronkietaksis

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto Thorax : Tidak tampak adanya kelainan atau hanya hyperemia
b. Laboratorium : Leukosit > 17.500.

9. Penatalaksanaan
a. Tindakan Perawatan
Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan mengeluarakan lendir
- Sering mengubah posisi
- Banyak minum
- Inhalasi
- Nebulizer
- Untuk mempertahankan daya tahan tubuh, setelah anak muntah dan tenang perlu
diberikan minum susu atau makanan lain

b. Tindakan Medis
- Jangan beri obat antihistamin berlebih
- Beri antibiotik bila ada kecurigaan infeksi bakterial
- Dapat diberi efedrin 0,5 – 1 mg/KgBB tiga kali sehari
- Chloral hidrat 30 mg/Kg BB sebagai sedatif

10. Pencegahan
Menurut Ngastiyah (1997), untuk mengurangi gangguan tersebut perlu diusahakan agar batuk tidak bertambah parah.
- Membatasi aktivitas anak
- Tidak tidur di kamar yang ber AC atau gunakan baju dingin, bila ada yang tertutup lehernya
- Hindari makanan yang merangsang
- Jangan memandikan anak terlalu pagi atau terlalu sore, dan mandikan anak dengan air hangat
- Jaga kebersihan makanan dan biasakan cuci tangan sebelum makan
- Menciptakan lingkungan udara yang bebas polusi

Sumber
http://akperppnisolojateng.blogspot.com




ASKEP BURSITIS

Definisi
 Bursitis adalah peradangan bursa, yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan pasti.

 Bursitis adalah peradangan pada bursa yang disertai rasa nyeri. Bursa adalah kantong datar yang mengandung cairan sinovial, yang memudahi pergerakan normal dari beberapa sendi pada otot dan mengurangi gesekan.

Bursa terletak pada sisi yang mengalami gesekan, terutama di tempat dimana atau otot melewati tulang. Dalam keadaan normal, sebuah bursa mengandung sangat sedikit cairan. Tetapi jika terluka, bursa akan meradang dan terisi oleh cairan.

Bursa yang sering terkena adalah :
1. Bursa sub akromial dan bursa deltoid pada bahu yaitu bursa yang paling penting dalam tubuh, inflamasi pada bursa ini menimbulkan perasaan nyeri akut serta pergerakan yang terbatas terutama gerakan abduksi pada sendi bahu, dan nyeri menetap pada insersi deltoid terutama pada malam hari. Sering kali sekunder akibat robeknya bungkus rotator yang terjadi tanpa di ketahui.

2. Bunion bursitis yaitu daerah pembengkakan yang mengeras pada permukaan metakarpofalangeal I. penanggulangan dengan aspirasi cairan pada bagian yang membengkak dan suntikan kortikosteroid local.

3. Bursitis Achilles yang terdapat pada perlekatan tendon Achilles dengan tulang kallaneus (retrokalkaneal bursa) dan di antara bursa tersebut dan kulit (bursa sub kutaneous). Menimbulkan rasa nyeri di daerah tersebut terutama pada kalkaneus posterior. Mudah untuk melakukan suntikan kortikosteroid dan xilokain pada daerah pembengkakan di sini, tetapi harus hati-hati tidak boleh ada bolus pada tendon untuk menghindari risiko rupture.

4. Heel spur bursitis. Menimbulkan rasa nyeri pada daerah tumit. Suntikan local kortikosteroid dan atau lidokain sangat membantu.

5. Anserin bursitis, sering disalah tafsirkan sebagai osteortritis karena dijumpai pada wanita tua bertubuh gemuk, yaitu berupa rasa nyeri, tegang (tender) dan kadang-kadang membengkak dan terasa panas di daerah lutut bagian medial inferior, distal garis sendi.

6. Bursitis pre patellar (house maid’s knee dengan keluhan yang khas pada lutut, yaitu rasa nyeri sewaktu berlutut, terasa kaku, bengkak dan berwarna merah pada bagian anterior lutut (patela). Penyebab yang paling sering karena lutut sering bertumpu pada lantai. Berbeda dengan sinovitis pada lutut yang menimbulkan pembengkakan di daerah belakang bagian pinggir lutut.




7. Bursitis olekranon, terdapat pada puncak siku (tip). Hal ini sering terjadi pada posisi dengan menggunakan siku atau sering jalan tiarap. Walaupun inflamasinya jelas tetapi kadang-kadang rasa nyeri hanya minimal. Juga dapat timbul pada artristis rheumatoid, gout, akibat trauma dan infeksi. Pencegahan dilakukan dengan memakai alas karet busa untuk protektif. Kalau perlu dapat diberi suntikan local kortikosteroid.

8. Bursitis kalkaneal, ada 3 bursa di sekeliling kalkanrus yang dapat mengalami inflamasi dan menimbulkan rasa sakit yaitu :
Bursitis retro kalkaneal pada bagian anterior Achilles.
 Bursitis post kalkaneal pada bagianü posterior Achilles
 Bursitis sub kalkaneal pada bagian inferior tulang kalkaneus. Bursitis yang berulang-ulang di tempat ini dapat mengakibatkan tebdnitis pada Achilles dan dapat mengakibatkan rupture tendon.

9. Bursitis pada ibu jari metakarpofangeal I, kelingking dan tumit. Hal ini terutama di sebabkan ukuran sepatu yang tidak sesuai.

10. Bursitis hip (pada pinggul), ada 3 yang terpenting yaitu :
 bursitis trokanter, pada inseri otot gluteus medius di trokanter femur, menimbulkan rasa nyeri pada bagian lateral pinggul sebelah bawah trokanter dan dapat menjalar ke bawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri istimewa pada malam hari dan bertamnah nyeri kalau dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat penekanan di daerah trokanter tersebut dijumpai otot-otot menegang kaku. Dan pada foto roentgen terlihat adanya deposit kalsium. Penanggulangan dengan suntikan local lidocain 1%.
 Bursitis iliopektineal, menimbulkan rasaü nyeri dan tegang di daerah lateral segi tiga skarpa (daerah segi tiga yang dibatasi oleh ligament inguinal,

 Bursitis digolongkan menjadi 2 :
 Bursitis akut terjadi secara mendadak.
Jika disentuh atau digerakkan, akan timbul nyeri di daerah yang meradang. Kulit diatas bursa tampak kemerahan dan membengkak. Bursitis akut yang disebabkan oleh suatu infeksi atau gout menyebabkan nyeri luar biasa dan daerah yang terkena tampak kemerahan dan teraba hangat.

 Bursitis kronis merupakanü akibat dari serangan bursitis akut sebelumnya atau cedera yang berulang. Pada akhirya, dinding bursa akan menebak dan di dalamnya terkumpul endapan kalsium padat yang menyerupai kapur. Bursa yang telah mengalami kerusakan sangat peka terhadap peradangan tanbah. Nyeri menahun dan pembengkakan bisa membatasi pregerakan, sehingga otot mengalami penciutan (atrofi) dan menjadi lemah. Serangan bursitis kronis berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu dan sering kambuh.

Etiologi
Penyebabnya sering kali tidak diketahui, tetapi burnitis dapa disebabkan oleh :
- Cedera
- Gout
- Pseudogout
- Arthritis rematoid
- Infeksi.
Yang paling mudah terkena bursitis adalah bahu, bagian tubuh lainnya yang juga terkena bursitis adalah sikut, pinggul, lutut, jari kaki, dan tumit.


Tanda dan Gejala
Gejala utama pada bursitis pada umunya berupa pembengkakan lokal, panas, merah, dan nyeri. Bursitis menyebabkan nyeri dan cenderung membatasi pergerakan, tetapi gejala yang khusus tergantung kepada lokasi bursa yang meradang. Jika bursa di bahu meradang, maka jika penderita mengangkat lengannya untuk memakai baju akan mengalami kesulitan dan merasakan nyeri.

Pengobatan
Bursa yang terinfeksi harus dikeringakan dan diberikan obat antibiotik. Burnitis akut non-infeksius biasanya diobati dengan istirahat sementara waktu sendi yang terkena tidak digerakkan dan diberikan obat peradangan non-steroid (misalnya indometasin, ibuprofen atau naproksen). Kadang diberikan obat pereda nyeri. Selain itu bisa disuntikkan campuran daru obat bius lokan dan kortikosteroid langsung ke dalam bursa. Penyuntikan ini mungkin perlu dilakukan lebih dari satu kali. Pada burnitis yang berat dibrikan kortikostiroid (misalnya perdnison) per-oral (ditelan) selama beberapa hari. Setelah nyeri mereda, dianjurkan untuk melakukan latihan khusus guna meningkatkan daya jangkau sendi. Bursitis kronis diobati dengan cara yang sama. Kadang endapan kalsium yang besar di bahu bisa dibuang melalui jarun atau melalui pembadahan. Kortikosteoid bisa langsung disumtikkan ke dalam sendi. Terapi fisik dilakukan untuk mengemblikan fungsi sendi. Latihan bisa membantu mengembalikan kekuatan otot dan daya jankau sendi. Bursitis sering kambuh jika penyebabnya ( misalnya, gout, arthritis rematoid atau pemakaianberlebihan) tidak diatasi.

Pemeriksaan Penunjang
Ada pemeriksaan khusus untuk memastikan adanya bursitis yaitu dengan radiografi. Pada daerah yang terserang biasanya menunjukkan adanya klasifikasi dalam bursa, tendon atau jaringan lunak yang berdekatan.

Diagnosa Banding
- Sepsis atau sinflamasi : aspirasi dan biakan
- Mungkin sukar dibedakan antara bursitis dan arthritis inflamasi akut, selulitis, atau ostiomieolitis
- Diagnosa sering ditegakkan berdasarkan lokasi nyeri pada tempat yang klasik
- Sendi yang terserang biasanya mempunyai ruang gerak pasif yang hampir normal


ASKEP CIDERA KEPALA

A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1.      oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
2.      trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.
C. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit gangguan syaraff. Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan.

D. Patofisiologi
Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh. Bila trauma ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus – menerus dapat menyebabkan hipoksia sehingga tekanan intra kranial akan meningkat. Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan meneyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.


E. Klasifikasi
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
1.      Cidera kepala terbuka
2.      Cidera kepala tertutup
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
Fractura Basis Cranii
Fractura ini dapat terletak di depan, tengah, atau di belakang. Gejala fractura di depan:
1.      Rhino liquore disertai lesi di sinus-frontalis pada ethmoidal, spenoidal, dan arachnoidal.
2.      Pneunoencephalon, karena pada fractura basis cranii udara dari sinus maksilaris masuk ke lapisan selaput otak encepalon.
3.      Monokli haematoma, adalah haematoma pada biji mata, karena pada orbita mata dan biji lensa mata memberi gejala pendarahan intracranialis pula.
Fractura bagian tengah basis cranii antara lain memberi gejala khas menetesnya cairan otak bercampur darah dari telinga: otoliquor, melalui tuba eustachii. Gambaran rontgen sebagai tanda khas pada fractura basis cranii selalu hanya memperlihatkan sebagian. Karena itu, dokter-dokter ahli forensik selalu menerima kalau hanya ada satu tanda-tanda klinik.
Gejala-gejala klinis lain yang dapat dilihat pada fractura basis cranii antara lain anosmia (I); gangguan penglihatan (II); gangguan gerakan-gerakan biji mata (III,IV, V); gangguan rasa di wajah (VI); kelumpuhan facialis (VII); serta ketulian bukan karena trauma octavus tetapi karena trauma pada haemotympanon. Pada umumnya, N. VIII - XII jaringan saraf otak tidak akan rusak pada fractura basis cranii. Kalau fractura disebut fractura impressio maka terjadi dislocatio pada tulang-tulang sinus tengkorak kepala. Hal ini harus selalu diperhatikan karena kemungkinan ini akibat contusio cerebri.

2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-keretakan. Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa sehingga menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak, hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media akibat fractura tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).


a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto rontgen kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi. Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang gawat dan harus segera ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna “pelebaran pembuluh darah”. Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe centralis - kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).




E. Pemeriksaan diagnostik
1.      Spinal X ray
Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan atau ruptur atau fraktur).

2.      CT Scan
Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3.      Myelogram
Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai.
4.      MRI (magnetic imaging resonance)
Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/ luas terjadinya perdarahan otak.
5.      Thorax X ray
Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.
6.      Pemeriksaan fungsi pernafasan
Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7.      Analisa Gas Darah
Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.

F. Pengobatan
Penderita trauma saraf spinal akut yang diterapi dengan metilprednisolon (bolus 30 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan infus 5,4 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam), akan menunjukkan perbaikan keadaan neurologis bila preparat itu diberikan dalam waktu paling lama 8 jam setelah kejadian (golden hour). Pemberian nalokson (bolus 5,4 mg/kg berat badan dilanjutkan dengan 4,0 mg/kg berat badan per jam selama 23 jam) tidak memberikan perbaikan keadaan neurologis pada penderita trauma saraf spinal akut.
Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:
·         Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen membran lain dari kerusakan.
·         Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.
·         Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.
·         Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.
·         Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.
·         Menghambat pelepasan asam arakhidonat.
H. Diagnosa keperawatan
1.      Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.
2.      Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.
3.      Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.
4.      Gangguan mobilitas fisik b/ d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.
5.      Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.
6.      Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
7.      Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan.
8.      Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.

Intervensi
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Rasional
Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke otak.

Gangguan perfusi jaringan tidak dapat diatasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam dengan KH :
o    Mampu mempertahankan tingkat kesadaran
o    Fungsi sensori dan motorik membaik.

o    Pantau status neurologis secara teratur.










o    Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri).



o    Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana.


o    Pantau TTV dan catat hasilnya.














o    Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien





o    Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat kontrol

Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP
Menentukan tingkat kesadaran

Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemampuan untuk berespon pada rangsangan eksternal.

Dikatakan sadar bila pasien mampu meremas atau melepas tangan pemeriksa.

Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti dengan penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda peningkatan TIK .
Peningkatan ritme dan disritmia merupakan tanda adanya depresi atau trauma batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.
Nafas yang tidak teratur menunjukan adanya peningkatan TIK

Ungkapan keluarga yang menyenangkan klien tampak mempunyai efek relaksasi pada beberapa klien koma yang akan menurunkan TIK

Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan Oedema cerebral: meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler, tekanan darah (TD) dan TIK
Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

Rasa nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan KH :
o    pasien mengatakan nyeri berkurang.
o    Pasien menunjukan skala nyeri pada angka 3.
o    Ekspresi wajah klien rileks.

o    Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.




o    Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma servikal.


o    Berikan kompres dingin pada kepala

Mengidentifikasi karakteristik nyeri merupakan faktor yang penting untuk menentukan terapi yang cocok serta
mengevaluasi keefektifan dari terapi.
Pemahaman terhadap penyakit yang mendasarinya membantu dalam memilih intervensi yang sesuai.

Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.
Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial.

Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24 jam dengan KH :
o    mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.
o    Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya.

o    Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan, sensori dan proses pikir.






o    Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul dan kesadaran terhadap gerakan.






o    Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata.



o    Berikan lingkungan tersetruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk klien jika mungkin dan tinjau kembali.




o    Gunakan penerangan siang atau malam.


o    Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.

Fungsi cerebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dahulu oleh adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi. Perubahan persepsi sensori motorik dan kognitif mungkin akan berkembang dan menetap dengan perbaikan respon secara bertahap

Semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan sensitivitas atau kehilangan sensasi untuk menerima dan berespon sesuai dengan stimuli.


Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian atau pemahaman selama fase akut dan penyembuhan. Dengan tindakan ini akan membantu pasien untuk memunculkan komunikasi.

Mengurangi kelelahan, kejenuhan dan memberikan kesempatan untuk tidur REM (ketidakadaan tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi sensori).

Memberikan perasaan normal tentang perubahan waktu dan pola tidur.

Pendekatan antar disiplin ilmu dapat menciptakan rencana panatalaksanaan terintegrasi yang berfokus pada masalah klien

Gangguan mobilitas fisik b/d spastisitas kontraktur, kerusakan saraf motorik.

Pasien dapat melakukan mobilitas fisik setelah mendapat perawatan dengan KH :
o    tidak adanya kontraktur, footdrop.
o    Ada peningkatan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
o    Mampu mendemonstrasikan aktivitas yang memungkinkan dilakukannya

o    Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.



o    Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional, seperti bokong, kaki, tangan. Pantau selama penempatan alat atau tanda penekanan dari alat tersebut.



o    Berikan/ bantu untuk latihan rentang gerak




o    Bantu pasien dalam program latihan dan penggunaan alat mobilisasi. Tingkatkan aktivitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan.

Mengidentifikasi kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.

Penggunaan sepatu tenis hak tinggi dapat membantu mencegah footdrop, penggunaan bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat membantu mencegah terjadinya abnormal pada bokong.

Mempertahankan mobilitas dan fungsi sendi/ posisi normal ekstrimitas dan menurunkan terjadinya vena statis.

Proses penyembuhan yang lambat seringakli menyertai trauma kepala dan pemulihan fisik merupakan bagian yang sangat penting. Keterlibatan pasien dalam program latihan sangat penting untuk meningkatkan kerja sama atau keberhasilan program.
Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam dengan KH :
o    Bebas tanda- tanda infeksi
o    Mencapai penyembuhan luka tepat waktu


o    Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.

o    Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik drainase dan adanya inflamasi.

o    Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang mengalami infeksi saluran nafas atas.

o    Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi.











Cara pertama untuk menghindari nosokomial infeksi.


Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

Menurunkan pemajanan terhadap pembawa kuman infeksi.



Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran LCS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan elektrolit meningkat.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan KH :
o    Menunjukan membran mukosa lembab, tanda vital normal haluaran urine adekuat dan bebas oedema.


o    Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.



o    Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis urine.


o    Berikan air tambahan/ bilas selang sesuai indikasi


o    Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.

Deteksi dini dan intervensi dapat mencegah kekurangan / kelebihan fluktuasi keseimbangan cairan.

Kehilangan urinarius dapat menunjukan terjadinya dehidrasi dan berat jenis urine adalah indikator hidrasi dan fungsi renal.

Dengan formula kalori lebih tinggi, tambahan air diperlukan untuk mencegah dehidrasi.

Hipokalimia/ fofatemia dapat terjadi karena perpindahan intraselluler selama pemberian makan awal dan menurunkan fungsi jantung bila tidak diatasi.

Gangguan kebutuhan nutrisi b/ d kelemahan otot untuk menguyah dan menelan

Pasien tidak mengalami gangguan nutrisi setelah dilakukan perawatan selama 3 x 24 jam dengan KH :
o    Tidak mengalami tanda- tanda mal nutrisi dengan nilai lab. Dalam rentang normal.
o    Peningkatan berat badan sesuai tujuan.
o    Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan, batuk dan mengatasi sekresi.

o    Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/ hilangnya atau suara hiperaktif.






o    Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien, seperti meninggikan kepala selama makan atatu selama pemberian makan lewat NGT.

o    Berikan makan dalam porsi kecil dan sering dengan teratur.




o    Kaji feses, cairan lambung, muntah darah.




o    Kolaborasi dengan ahli gizi.

Faktor ini menentukan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.

Fungsi bising usus pada umumnya tetap baik pada kasus cidera kepala. Jadi bising usus membantu dalam menentukan respon untuk makan atau berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.

Menurunkan regurgitasi dan terjadinya aspirasi.






Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.

Perdarahan subakut/ akut dapat terjadi dan perlu intervensi dan metode alternatif pemberian makan.

Metode yang efektif untuk memberikan kebutuhan kalori.
Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata.

Tidak terjadi gangguan pola nafas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam dengan KH :
o    Memperlihatkan pola nafas normal/ efektif, bebas sianosis dengan GDA dalam batas normal pasien.
o    Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan.





o    Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi.


o    Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.

o    Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara- suara tambahan yang tidak normal. (krekels, ronki dan whiszing).




o    Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.


o    Berikan oksiegen sesuai indikasi.

Perubahan dapat menunjukan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak. Pernafasan lambat, periode apneu dapat menendakan perlunya ventilasi mekanis.

Untuk memudahkan ekspansi paru dan menjegah lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.

Mencegah/ menurunkan atelektasis.


Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi serebral atau menandakan adanya infeksi paru (umumnya merupakan komplikasi pada cidera kepala).

Menentukan kecukupan oksigen, keseimbangan asam-basa dan kebutuhan akan terapi.

Mencegah hipoksia, jika pusat pernafasan tertekan. Biasanya dengan mnggunakan ventilator mekanis


ASKEP FRAKTUR
Pengertian Fraktur

Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.



Jenis jenis Fraktur antara lain :

Patah Tulang Tertutup

Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).


Patah Tulang Humerus

Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :

1) Fraktur Suprakondilar Humerus
2) Fraktur Interkondiler Humerus
3) Fraktur Batang Humerus
4) Fraktur Kolum Humerus

Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1) Tipe Ekstensi :
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.

2) Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi.
(Mansjoer, Arif, et al, 2000)

d Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletidak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup.

Keuntungan :
1)Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2)Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.

3)Klien tidak akan tirah baring lama.

4)Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.

Kerugian :
1) Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2) Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3)Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.

Anatomi Dan Fisiologi

Struktur Tulang


Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).

Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).

bTulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)


c Tulang Humerus

Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.

1)Kaput

Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.

2)Korpus

Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.

3) Ujung Bawah


Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)

d Fungsi Tulang


1)Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2)Tempat mlekatnya otot.
3)Melindungi organ penting.
4)Tempat pembuatan sel darah.
5)Tempat penyimpanan garam mineral.(Ignatavicius, Donna D, 1993)

3. Etiologi

1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2) Kekerasan tidak langsung

Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.(Oswari E, 1993)

4. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)



a.Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

1)Faktor Ekstrinsik
adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2)Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.( Ignatavicius, Donna D, 1995 )

b.Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:

1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.

2)Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah.
Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

3) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada

permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)

c.Komplikasi fraktur

1) Komplikasi Awal

a)Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b)Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.

c)Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

d)Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.


e)Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.

f)Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2)Komplikasi Dalam Waktu Lama

a)Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.

b)Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.

c) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.(Black, J.M, et al, 1993)

5. Klasifikasi Fraktur

Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

a.Berdasarkan sifat fraktur.

1).Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

2).Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b.Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

1).Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2).Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c.Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.

1).Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2).Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3).Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4).Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5).fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

d.Berdasarkan jumlah garis patah.

1)Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2)Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3)Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

1).Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2).Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b)Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c)Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
f.Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
g.Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a.Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b.Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c.Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d.Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

6. Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur hunerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.

a Terhadap Klien

1) Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi


2)Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta tuakutnya terjadi kecacatan pada dirinya.

3)Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.

4)Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.

b Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.

Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.





B.ASUHAN KEPERAWATAN

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

1.Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data

1)Anamnesa

a)Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b)Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

(1)Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2)Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
(3)Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4)Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5)Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.(Ignatavicius, Donna D, 1995)

c)Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).

e)Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).

f)Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g)Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).

(2)Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

(3)Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)

(4)Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).

(5)Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(6)Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(7)Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(8)Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).

(9)Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).

10)Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).

11)Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).

2)Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a) Gambaran Umum

Perlu menyebutkan:

(1)Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

(a)Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b)Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c)Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2)Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a)Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

(b)Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c)Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(d)Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

(e)Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)

(f)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

(g)Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.

(h)Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.

(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.

(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.

(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

(k) Jantung
(1) Inspeksi:Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.


(l) Abdomen
(1) Inspeksi :Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi :Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.

(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

(a)Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b)Cape au lait spot (birth mark).
(c)Fistulae.
(d)Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e)Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(f)Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

(2)Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(a)Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b)Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(c)Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

(3)Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

3) Pemeriksaan Diagnostik

a) Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

(1) Bayangan jaringan lunak.
(2)Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3)Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1)Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

b) Pemeriksaan Laboratorium

(1)Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

(2)Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

(3)Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

c) Pemeriksaan lain-lain

(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
(4)Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
(5)ndium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
(6)MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.(Ignatavicius, Donna D, 1995)

b. Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.

2.Diagnosa Keperawatan

Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang menjadi tanggung jawabnya.




3.Perencanaan

4.Pelaksanaan

5.Evaluasi



DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.

Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.






ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GAGAL NAFAS

http://askep-akper.blogspot.com
PENGERTIAN
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997 )
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan pertukaran oksigen dankarbondioksida dalam jumlah yangdapat mengakibatkan gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001)
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam parub-paru tidak dapat memelihara laju komsumsioksigen dan pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
PATOFISIOLOGI
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitasvital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
ETIOLOGI
1. Depresi Sistem saraf pusat


Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2. Kelainan neurologis primer

Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan sangatmempengaruhiventilasi.
3. Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks

Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan gagal nafas.
4. Trauma

Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas. Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar
5. Penyakit akut paru

Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.

PATHWAYS
clip_image002
TANDA DAN GEJALA
TANDA
Gagal Napas Total
1. Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
2. Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
3. Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
Gagal nafas parsial
1. Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
2. Ada retraksi dada
GEJALA
* Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
* Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemerikasan gas-gas darah arteri
Hipoksemia
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg

Pemeriksaan rontgen dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak diketahui

Hemodinamik
Tipe I : peningkatan PCWP

EKG
Mungkin memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan
Disritmia

PENGKAJIAN
Pengkajian Primer
1. Airway
• Peningkatan sekresi pernapasan
• Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi

2. Breathing
• Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung, takipneu/bradipneu, retraksi.
• Menggunakan otot aksesori pernapasan
• Kesulitan bernafas : lapar udara, diaforesis, sianosis

3. Circulation
• Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
• Sakit kepala
• Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk
• Papiledema
• Penurunan haluaran urine

PENTALAKSANAAN MEDIS
• Terapi oksigen
Pemberian oksigen kecepatan rendah : masker Venturi atau nasal prong
• Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau PEEP
• Inhalasi nebuliser
• Fisioterapi dada
• Pemantauan hemodinamik/jantung
• Pengobatan
a). Brokodilator
b). Steroid
• Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif b.d. penurunan ekspansi paru
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan
• Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal
• Adanya penurunan dispneu
• Gas-gas darah dalam batas normal
Intervensi :
• Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola pernapasan.
• Kaji tanda vital dan tingkat kesasdaran setaiap jam dan prn
• Monitor pemberian trakeostomi bila PaCo2 50 mmHg atau PaO2< 60 mmHg
• Berikan oksigen dalam bantuan ventilasi dan humidifier sesuai dengan pesanan
• Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam
• Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 derajat untuk mengoptimalkan pernapasan
• Berikan dorongan utnuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk mebebat dada selama batuk
• Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau bibir
• Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg. PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2 tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi sulit untuk diatasi.

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien dapat mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
• Bunyi paru bersih
• Warna kulit normal
• Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan

Intervensi :
• Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
• Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn, laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
• Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam PaO2
• Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji perlunya CPAP atau PEEP.
• Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
• Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan peningkatan atau penyimpangan
• Pantau irama jantung
• Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
• Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik, steroid.
• Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan kebutuhan oksigen.

3. Kelebihan volume cairan b.d. edema pulmo
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan perawatan pasien tidak terjadi kelebihan volume cairan
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan:
• TTV normal
• Balance cairan dalam batas normal
• Tidak terjadi edema
Intervensi :
• Timbang BB tiap hari
• Monitor input dan output pasien tiap 1 jam
• Kaji tanda dan gejala penurunan curah jantung
• Kaji tanda-tanda kelebihan volume : edema, BB , CVP
• Monitor parameter hemodinamik
• Kolaburasi untuk pemberian cairandan elektrolit

4. Gangguan perfusi jaringan b.d. penurunan curah jantung
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien mampu mempertahankan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan
• Status hemodinamik dalam bata normal
• TTV normal
Intervensi :
• Kaji tingkat kesadaran
• Kaji penurunan perfusi jaringan
• Kaji status hemodinamik
• Kaji irama EKG
• Kaji sistem gastrointestinal
Daftar pustaka
Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia.
Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien, EGC, Jakarta.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
http://akperppnisolojateng.blogspot.com









ASKEP KLEN ANAK DENGAN HIODROCHEPALUS

Defenisi
Merupakan sindroma klinis yang dicirikan dengan dilatasi yang progresif pada system ventrikuler cerebral dan kompresi gabungan dari jaringan – jaringan serebral selama produksi CSF berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili arachnoid.
Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan ruang – ruang tempat mengalirnya liquor.

Beberapa type hydrocephalus berhubungan dengan kenaikan tekanan intrakranial. 3 (Tiga) bentuk umum hydrocephalus :

a. Hidrocephalus Non – komunikasi (nonkommunicating hydrocephalus)
Biasanya diakibatkan obstruksi dalam system ventrikuler yang mencegah bersikulasinya CSF. Kondisi tersebut sering dijumpai pada orang lanjut usia yang berhubungan dengan malformasi congenital pada system saraf pusat atau diperoleh dari lesi (space occuping lesion) ataupun bekas luka.Pada klien dewasa dapat terjadi sebagai akibat dari obstruksi lesi pada system ventricular atau bentukan jaringan adhesi atau bekas luka didalam system di dalam system ventricular. Pada klien dengan garis sutura yag berfungsi atau pada anak – anak dibawah usia 12 – 18 bulan dengan tekanan intraranialnya tinggi mencapai ekstrim, tanda – tanda dan gejala – gejala kenaikan ICP dapat dikenali. Pada anak – anak yang garis suturanya tidak bergabung terdapat pemisahan / separasi garis sutura dan pembesaran kepala.

b. Hidrosefalus Komunikasi (Kommunicating hidrocepalus)
Jenis ini tidak terdapat obstruksi pada aliran CSF tetapi villus arachnoid untuk mengabsorbsi CSF terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit atau malfungsional. Umumnya terdapat pada orang dewasa, biasanya disebabkan karena dipenuhinya villus arachnoid dengan darah sesudah terjadinya hemmorhage subarachnoid (klien memperkembangkan tanda dan gejala – gejala peningkatan ICP)

c. Hidrosefalus Bertekan Normal (Normal Pressure Hidrocephalus)
Di tandai pembesaran sister basilar dan fentrikel disertai dengan kompresi jaringan serebral, dapat terjadi atrofi serebral. Tekanan intrakranial biasanya normal, gejala – gejala dan tanda – tanda lainnya meliputi ; dimentia, ataxic gait, incontinentia urine. Kelainan ini berhubungan dengan cedera kepala, hemmorhage serebral atau thrombosis, mengitis; pada beberapa kasus (Kelompok umur 60 – 70 tahun) ada kemingkinan ditemukan hubungan tersebut.

II. Fisiologi Cairan Cerebro Spinalis

a. Pembentukan CSF
Normal CSF diproduksi + 0,35 ml / menit atau 500 ml / hari dengan demikian CSF di perbaharui setiap 8 jam.
Pada anak dengan hidrosefalus, produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF di bentuk oleh PPA;
1). Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar)
2). Parenchym otak
3). Arachnoid

b. Sirkulasi CSF
Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata CSF mengalir dari tempat pembentuknya ke tempat ke tempat absorpsinya. CSF mengalir dari II ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro ke dalam ventrikel III, dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju ventrikel IV. Melalui satu pasang foramen Lusckha CSF mengalir cerebello pontine dan cisterna prepontis. Cairan yang keluar dari foramen Magindie menuju cisterna magna. Dari sini mengalir kesuperior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke cranial menuju cisterna infra tentorial.Melalui cisterna di supratentorial dan kedua hemisfere cortex cerebri.
Sirkulasi berakhir di sinus Doramatis di mana terjadi absorbsi melalui villi arachnoid.

III. Patofisiologi
Jika terdapat obstruksi pada system ventrikuler atau pada ruangan subarachnoid, ventrikel serebral melebar, menyebabkan permukaan ventrikuler mengkerut dan merobek garis ependymal. White mater dibawahnya akan mengalami atrofi dan tereduksi menjadi pita yang tipis. Pada gray matter terdapat pemeliharaan yang bersifat selektif, sehingga walaupun ventrikel telah mengalami pembesaran gray matter tidak mengalami gangguan. Proses dilatasi itu dapat merupakan proses yang tiba – tiba / akut dan dapat juga selektif tergantung pada kedudukan penyumbatan. Proses akut itu merupakan kasus emergency. Pada bayi dan anak kecil sutura kranialnya melipat dan melebar untuk mengakomodasi peningkatan massa cranial. Jika fontanela anterior tidak tertutup dia tidak akan mengembang dan terasa tegang pada perabaan.Stenosis aquaductal (Penyakit keluarga / keturunan yang terpaut seks) menyebabkan titik pelebaran pada ventrikel laterasl dan tengah, pelebaran ini menyebabkan kepala berbentuk khas yaitu penampakan dahi yang menonjol secara dominan (dominan Frontal blow).
Syndroma dandy walkker akan terjadi jika terjadi obstruksi pada foramina di luar pada ventrikel IV. Ventrikel ke IV melebar dan fossae posterior menonjol memenuhi sebagian besar ruang dibawah tentorium. Klein dengan type hidrosephalus diatas akan mengalami pembesaran cerebrum yang secara simetris dan wajahnya tampak kecil secara disproporsional.

Pada orang yang lebih tua, sutura cranial telah menutup sehingga membatasi ekspansi masa otak, sebagai akibatnya menujukkan gejala : Kenailkan ICP sebelum ventrikjel cerebral menjadi sangat membesar. Kerusakan dalam absorbsi dan sirkulasi CSF pada hidrosephalus tidak komplit. CSF melebihi kapasitas normal sistim ventrikel tiap 6 – 8 jam dan ketiadaan absorbsi total akan menyebabkan kematian.
Pada pelebaran ventrikular menyebabkan robeknya garis ependyma normal yang pada didning rongga memungkinkan kenaikan absorpsi. Jika route kolateral cukup untuk mencegah dilatasi ventrikular lebih lanjut maka akan terjadi keadaan kompensasi.

IV. Etiologi dan Patologi
Hydrosephalus dapat disebabkan oleh kelebihan atau tidak cukupnya penyerapan CSF pada otak atau obstruksi yang muncul mengganggu sirkulasi CSF di sistim ventrikuler. Kondisi diatas pada bayi dikuti oleh pembesaran kepala. Obstruksi pada lintasan yang sempit (Framina Monro, Aquaductus Sylvius, Foramina Mengindie dan luschka ) pada ventrikuler menyebabkan hidrocephalus yang disebut : Noncomunicating (Internal Hidricephalus)
Obstruksi biasanya terjadi pada ductus silvius di antara ventrikel ke III dan IV yang diakibatkan perkembangan yang salah, infeksi atau tumor sehingga CSF tidak dapat bersirkulasi dari sistim ventrikuler ke sirkulasi subarahcnoid dimana secara normal akan diserap ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan ventrikel lateral dan ke III membesar dan terjadi kenaikan ICP.
Type lain dari hidrocephalus disebut : Communcating (Eksternal Hidrocephalus) dmana sirkulasi cairan dari sistim ventrikuler ke ruang subarahcnoid tidak terhalangi, ini mungkin disebabkan karena kesalahan absorbsi cairan oleh sirkulasi vena. Type hidrocephalus terlihat bersama – sama dengan malformasi cerebrospinal sebelumnya.

V. Tanda dan Gejala
Kepala bisa berukuran normal dengan fontanela anterior menonjol, lama kelamaan menjadi besar dan mengeras menjadi bentuk yang karakteristik oleh peningkatan dimensi ventrikel lateral dan anterior – posterior diatas proporsi ukuran wajah dan bandan bayi.
Puncak orbital tertekan kebawah dan mata terletak agak kebawah dan keluar dengan penonjolan putih mata yang tidak biasanya.
Tampak adanya dsitensi vena superfisialis dan kulit kepala menjadi tipis serta rapuh.
Uji radiologis : terlihat tengkorak mengalami penipisan dengan sutura yang terpisah – pisah dan pelebaran vontanela.
Ventirkulogram menunjukkan pembesaran pada sistim ventrikel . CT scan dapat menggambarkan sistim ventrikuler dengan penebalan jaringan dan adnya massa pada ruangan Occuptional.
Pada bayi terlihat lemah dan diam tanpa aktivitas normal. Proses ini pada tipe communicating dapat tertahan secara spontan atau dapat terus dengan menyebabkan atrofi optik, spasme ekstremitas, konvulsi, malnutrisi dan kematian, jika anak hidup maka akan terjadi retardasi mental dan fisik.

VI. Diagnosis
 CT Scan
§
 Sistenogram radioisotop dengan scan .
§

VII. Perlakuan
 Prosedur pembedahan jalan pintas (ventrikulojugular, ventrikuloperitoneal)
§ shunt
§ Kedua prosedur diatas membutuhkan katheter yang dimasukan kedalam ventrikel lateral : kemudian catheter tersebut dimasukan kedalasm ujung terminal tube pada vena jugular atau peritonium diaman akan terjadi absorbsi kelebihan CSF.

VIII. Penatalaksanaan Perawatan Khusus
Hal – hal yang harus dilakukan dalam rangka penatalaksanaan post – operatif dan penilaian neurologis adalah sebagai berikut :
1) Post – Operatif : Jangan menempatkan klien pada posisi operasi.
2) Pada beberapa pemintasan, harus diingat bahwa terdapat katup (biasanya terletak pada tulang mastoid) di mana dokter dapat memintanya di pompa.
3) Jaga teknik aseptik yang ketat pada balutan.
4) Amati adanya kebocoran disekeliling balutan.
5) Jika status neurologi klien tidak memperlihatkan kemajuan, patut diduga adanya adanya kegagalan operasi (malfungsi karena kateter penuh);gejala dan tanda yang teramati dapat berupa peningkatan ICP.
Hidrocephalus pada Anak atau Bayi
Pembagian :Hidrosephalus pada anak atau bayi pada dasarnya dapat di bagi dua (2 ) ;
1. Kongenital
Merupakan Hidrosephalus yang sudah diderita sejak bayi dilahirkan, sehingga ;
- Pada saat lahir keadaan otak bayi terbentuk kecil
- Terdesak oleh banyaknya cairan didalam kepala dan tingginya tekanan intrakranial sehingga pertumbuhan sel otak terganggu.
2. Di dapat
Bayi atau anak mengalaminya pada saat sudah besar, dengan penyebabnya adalah penyakit – penyakit tertentu misalnya trauma, TBC yang menyerang otak dimana pengobatannya tidak tuntas.
Pada hidrosefalus di dapat pertumbuhan otak sudah sempurna, tetapi kemudian terganggu oleh sebab adanya peninggian tekanan intrakranial.Sehingga perbedaan hidrosefalus kongenital denga di dapat terletak pada pembentukan otak dan pembentukan otak dan kemungkinan prognosanya..
Penyebab sumbatan ;
Penyebab sumbatan aliran CSF yang sering terdapat pada bayi dan anak – anak ;
1. Kelainan kongenital
2. Infeksi di sebabkan oleh perlengketan meningen akibat infeksi dapat terjadi pelebaran ventrikel pada masa akut ( misal ; Meningitis )
3. Neoplasma
4. Perdarahan , misalnya perdarahan otak sebelum atau sesudah lahir.
Berdasarkan letak obstruksi CSF hidrosefalus pada bayi dan anak ini juga terbagi dalam dua bagianyaitu :
1. Hidrosefalus komunikan
Apabila obstruksinya terdapat pada rongga subaracnoid, sehingga terdapat aliran bebas CSF dal;am sistem ventrikel sampai ke tempat sumbatan.
2. Hidrosefalus non komunikan
Apabila obstruksinya terdapat terdapat didalam sistem ventrikel sehingga menghambat aliran bebas dari CSF.
Biasanya gangguan yang terjadi pada hidrosefalus kongenital adalah pada sistem vertikal sehingga terjadi bentuk hidrosefalus non komunikan.
Manifestasi klinis
1. Bayi ;
- Kepala menjadi makin besar dan akan terlihat pada umur 3 tahun.
- Keterlambatan penutupan fontanela anterior, sehingga fontanela menjadi tegang, keras, sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.
- Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial;
• Muntah
• Gelisah
• Menangis dengan suara ringgi
• Peningkatan sistole pada tekanan darah, penurunan nadi, peningkatan pernafasan dan tidak teratur, perubahan pupil, lethargi – stupor.
- Peningkatan tonus otot ekstrimitas
- Tanda – tanda fisik lainnya ;
• Dahi menonjol bersinar atau mengkilat dan pembuluh – pembuluh darah terlihat jelas.
• Alis mata dan bulu mata ke atas, sehingga sclera telihat seolah – olah di atas iris.
• Bayi tidak dapat melihat ke atas, “sunset eyes”
• Strabismus, nystagmus, atropi optik.
• Bayi sulit mengangkat dan menahan kepalanya ke atas.
2. Anak yang telah menutup suturanya ;
Tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial :
- Nyeri kepala
- Muntah
- Lethargi, lelah, apatis, perubahan personalitas
- Ketegangan dari sutura cranial dapat terlihat pada anak berumur 10 tahun.
- Penglihatan ganda, kontruksi penglihatan perifer
- Strabismus
- Perubahan pupil.


1. PENGKAJIAN

1.1 Anamnese
1) Riwayat penyakit / keluhan utama
Muntah, gelisah nyeri kepala, lethargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, kontriksi penglihatan perifer.
2) Riwayat Perkembangan
Kelahiran : prematur. Lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir menangis keras atau tidak.
Kekejangan : Mulut dan perubahan tingkah laku.
Apakah pernah terjatuh dengan kepala terbentur.
Keluhan sakit perut.

1.2 Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi :
 Anak dapat melioha keatas atau tidak.
§
 Pembesaran kepala.
§
 Dahi menonjol dan mengkilat. Sertas pembuluh dara terlihat jelas.
§
2) Palpasi
 Ukur lingkar kepala : Kepala semakin membesar.
§
§ Fontanela : Keterlamabatan penutupan fontanela anterior sehingga fontanela tegang, keras dan sedikit tinggi dari permukaan tengkorak.
3) Pemeriksaan Mata
 Akomodasi.
§
 Gerakan bola mata.
§
 Luas lapang pandang
§
 Konvergensi.
§
 Didapatkan hasil : alis mata dan bulu mata keatas, tidak bisa melihat keatas.
§
 Stabismus, nystaqmus, atropi optic.
§


1.3 Observasi Tanda –tanda vital
Didapatkan data – data sebagai berikut :
 Peningkatan sistole tekanan darah.
§
 Penurunan nadi / Bradicardia.
§
 Peningkatan frekwensi pernapasan.
§
1.4 Diagnosa Klinis :
 Transimulasi kepala bayi yang akan menunjukkan tahap dan lokalisasi dari pengumpulan cairan banormal. ( Transsimulasi terang )
§
 Perkusi tengkorak kepala bayi akan menghasilkan bunyi “ Crakedpot “ (Mercewen’s Sign)
§
 Opthalmoscopy : Edema Pupil.
§
 
CT Scan Memperlihatkan (non – invasive) type hidrocephalus dengan nalisisi komputer.§
 Radiologi : Ditemukan Pelebaran sutura, erosi tulang intra cranial.§


2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

2.1 Pre Operatif
1) Gangguan rasa nyaman: Nyeri sehubungan dengan meningkatkanya tekanan intrakranial .
Data Indikasi : Adanya keluahan Nyeri Kepala, Meringis atau menangis, gelisah, kepala membesar
Tujuan ; Klien akan mendapatkan kenyamanan, nyeri kepala berkurang
Intervensi :
 Jelaskan Penyebab nyeri.§
 Atur posisi Klien§
 Ajarkan tekhnik relaksasi§
 Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian Analgesik§
 Persapiapan operasi§

2) Kecemasan Orang tua sehubungan dengan keadaan anak yang akan mengalami operasi.
Data Indikasi : Ekspresi verbal menunjukkan kecemasan akan keadaan anaknya.
Tujuan : Kecemasan orang tua berkurang atau dapat diatasi.
Intervensi :
 Dorong orang tua untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam merawat anaknya.§
§ Jelaskan pada orang tua tentang masalah anak terutama ketakutannya menghadapi operasi otak dan ketakutan terhadap kerusakan otak.
§ Berikan informasi yang cukup tentang prosedur operasi dan berikan jawaban dengan benar dan sejujurnya serta hindari kesalahpahaman.
3) Potensial Kekurangan cairan dan elektrolit sehubungan dengan intake yang kurang diserta muntah.
Data Indikasi ; keluhan Muntah, Jarang minum.
Tujuan : Tidak terjadi kekurangan cairan dan elektrolit.
Intervensi :
 Kaji tanda – tanda kekurangan cairan
§
 Monitor Intake dan out put
§
 Berikan therapi cairan secara intavena.
§
 Atur jadwal pemberian cairan dan tetesan infus.
§
 Monitor tanda – tanda vital.
§
2.2 Post – Operatif.
1) Gangguan rasa nyaman : Nyeri sehubungan dengan tekanan pada kulit yang dilakukan shunt.
Data Indikasi ; adanya keluhan nyeri, Ekspresi non verbal adanya nyeri.
Tujuan : Rasa Nyaman Klien akan terpenuhi, Nyeri berkurang
Intervensi :
 Beri kapas secukupnya dibawa telinga yang dibalut.
§
§ Aspirasi shunt (Posisi semi fowler), bila harus memompa shunt, maka pemompaan dilakukan perlahan – lahan dengan interval yang telah ditentukan.
 
Kolaborasi dengan tim medis bila ada kesulitan dalam pemompaan shunt.§
 
Berikan posisi yang nyama. Hindari posisi p[ada tempat dilakukan shunt.§
 Observasi tingkat kesadaran dengan memperhatikan perubahan muka (Pucat, dingin, berkeringat)
§
 Kaji orisinil nyeri : Lokasi dan radiasinya
§
2) Resiko tinggi terjadinya gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan intake yang tidak adekuat.
Data Indikasi ; Adanya keluhan kesulitan dalam mengkonsumsi makanan.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan nutrisil.
Intervensi :
 Berikan makanan lunak tinggi kalori tinggi protein.
§
 Berikan klien makan dengan posisi semi fowler dan berikan waktu yang cukup untuk menelan.
§
 Ciptakan suasana lingkungan yang nyaman dan terhindar dari bau – bauan yang tidak enak.
§
 Monitor therapi secara intravena.
§
 Timbang berta badan bila mungkin.
§
 Jagalah kebersihan mulut ( Oral hygiene)
§
 Berikan makanan ringan diantara waktu makan
§
3) Resiko tinggi terjadinya infeksi sehubungan dengan infiltrasi bakteri melalui shunt.
Tujuan : Tidak terjadi infeksi / Klien bebas dari infeksi.
Intervensi :
 Monitor terhadap tanda – tanda infeksi.
§
 Pertahankan tekhnik kesterilan dalam prosedur perawatan
§
 Cegah terhadap terjadi gangguan suhu tubuh.
§
 Pertahanakan prinsiup aseptik pada drainase dan ekspirasi shunt.
§
4) Resiko tinggi terjadi kerusakan integritas kulit dan kontraktur sehubungan dengan imobilisasi.
Tujuan ; Pasien bebas dari kerusakan integritas kulit dan kontraktur.
Intervensi :
 Mobilisasi klien (Miki dan Mika) setiap 2 jam.
§
 Obsevasi terhadap tanda – tanda kerusakan integritas kulit dan kontrkatur.
§
 Jagalah kebersihan dan kerapihan tempat tidur.
§
 Berikan latihan secara pasif dan perlahan – lahan.
§

DAFTAR PUSTAKA

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.




ASKEP KLIEN DENGAN TETANUS
  1. KONSEP DASAR
    I. Pengertian
    Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot masester dan otot rangka.

    II. Etiologi
    Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.

    III. patofisiologi
    Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berploriferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain :

    a. luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau, cangkul dan lain-lain.
    b. Luka karena kecelakaan kerja (kena parang0, kecelakaan lalu lintas.
    c. Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.

    Cara kerja toksin
    Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan oleh antitoksin spesifik.

    IV. Faktor predisposisi
    a. Umur tua atau anak-anak
    b. Luka yang dalam dan kotor
    c. Belum terimunisasi

    V. Tanda dan gejala
    a. Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari
    b. Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
    c. Kesukaran membuka mulut (trismus)
    d. Kaku kuduk (epistotonus), kaku dinding perut dan tulang belakang
    e. Saat kejang tonik tampak risus sardonikus

    VII. Gambaran umum yang khas pada tetanus
    a. Badan kaku dengan epistotonus
    b. Tungkai dalam ekstensi
    c. Lengan kaku dan tangan mengepal
    d. Biasanya keasadaran tetap baik
    e. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
    1. Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan
    2. Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit menelan.


    VIII. Prognosa
    Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala.

    IX. Pemeriksaan diagnostik
    a. Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot rahang.
    b. Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
    c. Pemeriksaan Ecg dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

    x. Penatalaksanaan

    a. Umum
    Tetanus merupakan keadaan darurat, sehingga pengobatan dan perawatan harus segera diberikan :
    1. Netralisasi toksin dengan injeksi 3000-6000 iu immunoglobulin tetanus disekitar luka 9tidak boleh diberikan IV)
    2. Sedativa-terapi relaksan ; Thiopental sodium (Penthotal sodium) 0,4% IV drip; Phenobarbital (luminal) 3-5 mg/kg BB diberikan secara IM, iV atau PO tiap 3-6 jam, paraldehyde 9panal) 0,15 mg/kg BB Per-im tiap 4-6 jam.
    3. Agen anti cemas ; Diazepam (valium) 0,2 mg/kg BB IM atau IV tiap 3-4 jam, dosis ditingkatkan dengan beratnya kejang sampai 9,5 mg/kg BB/24 jam untuk dewasa.
    4. Beta-adrenergik bolcker; propanolol 9inderal) 0,2 mg aliquots, untuk total dari 2 mg IV untuk dewasa atau 10 mg tiap 8 jam intragastrik, digunakan untuk pengobatan sindroma overaktivitas sempatis jantung.
    5. Penanggulangan kejang; isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat kejang, kolaborasi pemeberian obat penenang.
    6. Pemberian Penisilin G cair 10-20 juta iu (dosis terbagi0 dapat diganti dengan tetraciklin atau klinamisin untuk membunuh klostirida vegetatif.
    7. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit.
    8. Diit tKTP melalui oral/ sounde/parenteral
    9. Intermittent positive pressure breathing (IPPB) sesuai dengan kondisi klien.
    10. Indwelling cateter untuk mengontrol retensi urine.
    11. Terapi fisik untuk mencegah kontraktur dan untuk fasilitas kembali fungsi optot dan ambulasi selama penyembuhan.

    b. Pembedahan
    1. Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu; intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
    2. Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi


    B. ASUHAN KEPERWATAN

    I. Pengkajian
    1. Pengkajian Umum
    a. Riwayat penyakit sekarang; adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang tidak adekuat.
    b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot pernafasan
    c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C
    d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
    e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put tidak ada/oliguria)
    f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
    g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.

    2. Setelah dianalisa dari data yang ada maka timbul beberapa masalah keperawtan atau amasalah kolaboratif.
    a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
    b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan.
    c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia)
    d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah
    e. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
    f. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering kejang
    g. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang kurang dan oliguria
    h. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
    i. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
    j. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang


    II. Rencana Keperawatan

    a. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
    Tujuan : Jalan nafas efektif
    Kriteria :
    - Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
    - Pernafasan 16-18 kali/menit
    - Tidak ada pernafasan cuping hidung
    - Tidak ada tambahan otot pernafasan
    - Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)

    Intervensi dan Rasional
    1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
    R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.

    2. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
    R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.

    3. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan melakukan suction
    R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah proses respirasi.

    4. Oksigenasi
    R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.

    5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
    R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.

    6. Observasi timbulnya gagal nafas.
    R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).

    7. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
    R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.

    b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
    Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
    Kriteria :
    - Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
    - Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
    - Tidak sianosis.

    Intervensi dan raasional.
    1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
    R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
    2. Atur posisi luruskan jalan nafas.
    R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar.

    3. Observasi tanda dan gejala sianosis
    R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer .

    4. Oksigenasi
    R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.

    5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
    R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.

    6. Observasi timbulnya gagal nafas.
    R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).

    7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
    R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat

    c. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin (bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000 /mm3
    Tujuan Suhu tubuh normal
    Kriteria : 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3

    1. Atur suhu lingkungan yang nyaman
    R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.

    2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
    R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.

    3. Berikan hidrasi atau minum ysng cukup adequat
    R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari dalam.

    4. Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
    R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka.

    5. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
    R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi.

    6. Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.
    R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.

    7. Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
    R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.


    d. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.

    Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
    Kriteria :
    - BB optimal
    - Intake adekuat
    - Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
    Intervensi dan rasional
    1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh

    R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
    2. Kolaboratif :
    a. Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
    R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah.

    b. Pemberian carian per IV line
    R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.

    c. Pemasangan NGT bila perlu
    R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.

    KEPUSTAKAAN

    Soeparman; 1990; Ilmu Penyakit Dalam; Universitas Indonesia Press; Jakarta
    Deanna etc.: 1991; Infectious Diseases; St. Louis Mosby Year Book.
    Theodore R.; 1993; Ilmu Bedah; EGC; Jakarta                                                                                        http://akperppni.ac.id                                                                                                                               Marlyn Doengoes; 1993; Nursing Care Plan; Edisi III, Philadelpia                
 






ASKEP KLIEN PERIOPERATIF FRAKTUR MANDIBULAE

Pembedahan merupakan salah satu bentuk terapi medis yang merupakan ancaman potensial atau aktual kepada integritas seseorang karena membangkitkan reaksi stress baik fisiologis maupun psikologis. Reaksi fisiologis berkaitan langsung dengan tindakan bedah itu sendiri, sedangkan reaksi psikologis meskipun tidak berkaitan langsung dengan tindakan bedah namun sangat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan pembedahan karena dapat memicu respon yang lebihbesar.
Pada dasarnya pembedahan merupakan stressor kepada tubuh dan memicu respon neuroendokrin. Respon terdiri dari sistem saraf simpathi dan respon hormon yang ber-fungsi melindungi tubuh dari ancaman didera. Respon sistem saraf simpathi dengan vaso-konstriksi berguna untuk mempertahankan tekanan darah agar cukup aliran darah ke jantung dan otak. Kenaikan kardiak output dan pengurangan aktifitas gastrointestinal berguna untuk mempertahankan tekanan darah, namun memiliki efek negatif anoreksia, nyeri akibat gas dan konstipasi. Pada respon hormonal, peningkatan sekresi glucocorticoid (cortex adrenal) menyebabkan retensi sodium untuk peningkatan volume darah: katabolisme protein dan lemak untuk penyembuhan menyebabkan peningkatan energi, tersedianya asam smino sehingga efek negatifnya menyebabkan kehilangan potassium dan penurunan berat badan. Kenaikan produksi trombosit berguna untuk mencegah perdarahan melalui pembekuan, namun efek negatifnya menyebabkan penurunan berat badan, kemungkinan pemben-tukan thrombus, kenaikan sekresi ADH menyebabkan peningkatan volume darah, namun bisa memungkinkan kelebihan cairan.
Pada klien lanjut usia, kemampuan mentolerir bedah tergantung pada luasnya perubahan fisiologi yang terjadi akibat proses usia, lamanya prosedur bedah dan terdapatnya satu atau lebih penyakit menahun. Perubahan-perubahan fisiologis pada lansia yang mempengaruhi proses bedah adalah cardiovasculer, renal, pulmonari dan muskuloskeletal. Kecepatan jantung yang lebih lamban bisa menyebabkan shock, infeksi luka dan thrombo-phlebitis. Fungsi ginjal yang menurun menyebabkan respon terlambat terhadap anestesi serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Fungsi respiratori yang menurun menye-babkan atelektasis dan pneumonia. Mobilitas yang berkurang juga bisa menimbulkan atelektasis, pneumonia, thrombophlebitis serta konstipasi.
Respon psikologi seseorang terhadap pembedahan berbeda-beda. Pandangan bahwa pembedahan akan menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh tertentu serta nyeri yang hebat menyebabkan klien pada umumnya merasa takut atau cemas terhadap sesuatu yang belum pasti. Disinilah fungsi perawat untuk lebih sensitif terhadap kebutuhan psikologis pasien yang akan menjalani operasi.
Perawatan perioperatif adalah periode sebelum, selama dan sesudah operasi berlangsung. Pada periode pre operatif yang lebih diutamakan adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi. Aspek yang paling penting pada periode ini adalah pendidikan kesehatan tentang hal-hal yang patut ia ketahui sebagai persiapan seperti persetujuan operasi sebagai syarat administratif maupun persiapan-persiapan menjelang operasi seperti puasa, bercukur, mandi, keramas, dll. Selain itu kesiapan yang tak kalah pentingnya adalah penyuluhan tentang peristiwa yang akan datang, latihan-latihan yang diperlukan pada periode pasca bedah guna mencegah komplikasi serta pengkajian sebelum penyuluhan tentang apa yang diketahui klien tentang tujuan bedah serta semua prosedur rutin, baik pra maupun
pasca bedah.
Pada periode intra operatif, tugas utama perawat adalah membantu/ bekerjasama dengan tim dalam pelaksanaan operasi. Sedang pada periode post operatif, tugas perawat adalah membantu klien dalam pemulihan setelah pembiusan, mempertahankan sistem tubuh berjalan baik, mencegah komplikasi pasca operasi dan mencegah ketidaknyamanan.
1. PRE OPERATIF
a. Merupakan ijin tertulis yang ditandatangani oleh klien untuk melindungi klien dari pelimpahan wewenang pembedahan dan melindungi ahli bedah dan rumah sakit terhadap pengaduan yang tidak disertai wewenang atau klien tidak menyadari resiko yang menyertai.
b. Pengkajian
Yang perlu dikaji adalah pengetahuan klien tentang:
- Tujuan pembedahan, prosedur pra dan post operasi.
- Latihan-latihan yang diperlukan pada post operasi guna mencegah kom-plikasi.
- Peristiwa yang akan datang.
KESIAPAN PSIKOLOGIS TERHADAP PEMBEDAHAN
Kecemasan yang berat akan mempengaruhi hipotalamus dan menimbulkan dua me-kanisme yang berbeda. Impuls pertama disponsori oleh sistem saraf simpatis yang akan mempengaruhi medula adrenal dalam memproduksi epinephrin dan nor epinephrin. Dalam keadaan normal, kedua substansi ini akan memberikan sirkulasi darah yang adekuat sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit terjaga, suhu tubuh stabil sehingga energi terpenuhi. Tetapi jika produksinya patologis akan meningkatkan rate dan kontraksi jantung, dilatasi pupil, penurunan motilitas GI tract hingga terjadi glikogenolisis dan gluko-neogenesis di hepar. Sedangkan mekanisme kedua akan mempengaruhi kelenjar hipofise anterior sehingga merangsang produksi hormon adrenokortikosteroid yaitu aldosteron dan glukokortikoid. Aldosteron berperan dalam mem-pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, reabsorbsi air dan natrium. Glukokortikoid menyediakan energi pada kondisi emergensi dan penyembuhan jaringan.
Kecemasan dapat timbul karena kesiapan psikologis terhadap pembedahan belum terjadi. Tanda-tanda fisiologis yang penting dalam indikasi cemas adalah:
- Kulit : pucat, lembab.
- Pupil : dilatasi.
- Respirasi : lebih dalam.
- Nadi : ritme dan kekuatan meningkat.
- Temperatur: sedikit meningkat.
- GI : anorexia, nausea.
- Motorik : gelisah, gerakan stereotypi, immobilitas (stress berat).
- Perilaku : rentang perhatian berkurang, kemampuan mengikuti perintah menurun.
- Interaksi: bertanya terus, pengungkapan negatif.
3. KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI
Data mengenai penginderaan dan bahasa menunjukkan kemampuan klien untuk mengerti petunjuk-petunjuk dan kemampuan menerima pengalamam perioperatif.
4. OKSIGENASI
Adanya riwayat gangguan respirasi sangat berpengaruh terhadap kemampuan mengembangkan paru-paru serta potensial atelektasis atau pneumonia pasca bedah. Riwayat gangguan vaskuler berpengaruh terhadap gangguan suplay O2 pasca bedah.
5. NUTRISI
Kelebihan atau kekurangan berat badan dapat dihitung dari rasio tinggi badan dan berat badan. Defisiensi nutrisi harus dicegah. Intake diit yang tidak adekuat, mual, anoreksia dan kondisi oral jelek akan mempengaruhi intake nutrisi sebelum operasi dan merupakan faktor yang harus dipertim-bangkan pada periode pasca bedah.
6. ELIMINASI
Mobilitas dan ambulatori merupakan kegiatan penting pasca bedah untuk men-cegah komplikasi. Kurang kegiatan menyebabkan konstipasi pasca bedah, terutama bila memiliki riwayat konstipasi kronis.
7. AKTIFITAS
Kemampuan bergerak dan berjalan pada pasca bedah akan menentukan kegiatan yang harus dilaksanakan untuk memberi kesempatan kepada gerakan yang maksimum.
8. KENYAMANAN
Kegiatan rutin ataupun prosedur tertentu perlu dijelaskan kepada klien demi mencegah salah pengertian, serta untuk meningkatkan pengetahuan dan me-ngurangi kecemasan.
Pada periode intra operatif, pengkajian difokuskan pada perubahan hemodinamik, ke-amanan dan keselamatan, pengaturan posisi serta koordinasi kesiapan proses pembe-dahan. Tindakan keperawatan yang harus dilakukan:
1. Pengelolaan keamanan dan keselamatan fisik.
– Jaminan perhitungan kassa, jarum, instrumen harus cocok untuk pemakaian.
– Mengatur posisi klien:
a. Posisi fungsional.
b. Membuka daerah operasi.
c. Mempertahankan posisi selama prosedur.
– Memasang alat ground.
– Menyiapkan bahan fisik.
2. Pemantauan fisiologis
– Mengkalkulasi kebutuhan cairan dan pengaruh akibat kekurangan cairan.
– Membandingkan data abnormal dari cardio pulmonal.
– Melaporkan perubahan.
3. Manajemen keperawatan
– Menyiapkan keselamatan fisik.
– Mempertahankan aseptis lingkungan.
– Pengelola SDM yang efektif.
Pada fase post operatif, pengkajian difokuskan pada kelancaran saluran nafas, karena bila terjadi obstruksi kemungkinan terjadi gangguan ventilasi yang mungkin disebab-kan karena pengaruh obat-obatan, anestetik, narkotik dan karena tekanan diafragma. Selain itu juga penting untuk mempertahankan sirkulasi dengan mewaspadai terjadinya hipotensi dan aritmia kardiak. Oleh karena itu perlu memantau TTV setiap 10-15 me-nit dan kesadaran selama 2 jam dan 4 jam sekali.
Keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan fisik berupa nyeri dan kenya-manan psikologis juga perlu dikaji sehingga perlu adanya orientasi dan bimbingan kegi-atan post op seperti ambulasi dan nafas dalam untuk mempercepat hilangnya pengaruh anestesi.
FRAKTUR OS.MANDIBULARIS
Adalah Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung.
PATOFISIOLOGI
A. Penyebab fraktur adalah trauma
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa yang disebabkan oleh suatu proses, yaitu :
· Osteoporosis Imperfekta
· Osteoporosis
· Penyakit metabolik
1.TRAUMA
Trauma, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi dagu langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).
(a) TANDA DAN GEJALA
· Nyeri hebat di tempat fraktur
· Tak mampu menggerakkan dagu bawah
· Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, krepitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.
(b) PEMERIKSAAN PENUNJANG
· X-Ray
· Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
· Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
· CCT kalau banyak kerusakan otot.
(c) PENATALAKSANAAN MEDIK
· Konservatif : Immobilisasi, mengistirahatkan daerah fraktur.
· Operatif : dengan pemasangan Traksi, Pen, Screw, Plate, Wire ( tindakan Asbarg)
(d) RENCANA KEPERAWATAN
Prioritas Masalah
· Mengatasi perdarahan
· Mengatasi nyeri
· Mencegah komplikasi
· Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan
DX. KEPERAWATAN
1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ketidakakraban dengan lingkungan, ancaman kematian, perubahan pada status kesehatan, prosedur pra operasi & prosedur pasca operasi.
2. Resiko terjadinya syok berhubungan dengan perdarahan yang banyak
Intervensi :
· Sediakan waktu kunjungan oleh personel kamar operasi sebelum pembedahan jika memungkinkan, untuk mendiskusikan hal-hal yang perlu diketahui klien sebelum pembedahan.
· Informasikan pada klien/ keluarga tentang peran advokat perawat intraoperasi
· Identifikasi tingkat rasa takut yang mengharuskan dilakukannya penundaan prosedur pembedahan.
· Beritahu klien kemungkinan dilakukannya anestesi lokal atau spinal dimana rasa pu-sing atau mengantuk mung-kin saja terjadi.
· Perkenalkan staf pada waktu pergantian ke ruang operasi.
· Kontrol stimuli eksternal.
KOLABORASI:
· Rujuk pada rohaniawan, spesialis klinis perawat psikiatri, konseling psikiatri jika diperlukan.
· Diskusikan penundaan pembedahan dengan dokter, anestesiologis, klien dan ke-luarga sesuai kebutuhan.
· Berikan obat sesuai petunjuk, seperti zat-zat sedatif, hipnotis; tranquilizer IV.
INDENPENDEN:
· Observasi tanda-tanda vital.
· Mengkaji sumber, lokasi, dan banyaknya perdarahan
· Memberikan posisi supinasi
· Memberikan banyak cairan (minum)
KOLABORASI:
· Pemberian cairan per infus
· Pemberian obat koagulansia (vit.K, Adona) dan penghentian perdarahan dengan fiksasi.
· Pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht)
· Dapat meredakan keresahan klien dan menyediakan informasi untuk perawatan intraoperasi formulatif.
· Dapat mengembangkan rasa percaya/ hubungan, menurunkan rasa takut akan kehilangan kontrol pada lingkungan yang asing.
· Rasa takut yang berlebihan/terus-menerus akan mengakibatkan reaksi stress yang berlebihan.
· Dapat mengurangi ansietas /rasa takut.
· Menciptakan hubungan dan kenya-manan psikologis.
· Suara gaduh & keributan akan meningkatkan ansietas.
· Konseling profesio-nal mungkin dibutuhkan klien untuk mengatasi rasa takut.
· Mungkin diperlukan jika rasa takut yang berlebihan tidak berkurang.
· Untuk meningkatkan tidur malam hari sebelum pembedahan; meningkatkan kemampuan koping.
· Untuk mengetahui tanda-tanda syok sedini mungkin.
· Untuk menentukan tindakan.
· Untuk mengurangi perdarahan dan mencegah kekurang-an darah ke otak.
· Untuk mencegah kekurangan cairan (mengganti cairan yang hilang)
· Pemberian cairan per infus.
· Membantu proses pembekuan darah dan untuk menghentikan perdarahan.
· Untuk mengetahui kadar Hb, Ht apakah perlu transfusi atau tidak.
3.Gangguan rasa nyaman:
Nyeri sehubungan de-ngan perubahan fragmen tulang, luka pada jaringan lunak, pema-sangan back slab, stress, dan cemas.
INDEPENDEN:
· Mengkaji karakteristik nyeri : lokasi, durasi, intensitas nyeri dengan menggunakan skala nyeri (0-10).
· Mempertahankan immobi-lisasi (back slab).
· Berikan sokongan (sup-port) pada area yang luka.
· Menjelaskan seluruh pro-sedur di atas.
KOLABORASI:
· Pemberian obat-obatan analgesik.
· Untuk mengetahui tingkat rasa nyeri sehingga dapat menentukan jenis tindak annya.
· Mencegah pergeseran tulang dan penekanan pada jaringan yang luka.
· Peningkatan vena return, menurunkan edem, dan mengurangi nyeri.
· Untuk mempersiapkan mental serta agar pasien berpartisipasi pada setiap tindakan yang akan dilakukan.
· Mengurangi rasa nyeri.
4.Resiko tinggi terjadi infeksi berhubungan dengan luka terbuka.
INDEPENDEN:
· Kaji keadaan luka (kontinuitas dari kulit) terhadap adanya: edema, rubor, kalor, dolor, fungsi laesa.
· Anjurkan pasien untuk tidak memegang bagian yang luka.
· Merawat luka dengan meng-gunakan tehnik aseptik.
· Mewaspadai adanya keluhan nyeri mendadak, keterbatasan gerak, edema lokal, eritema pada daerah luka.
KOLABORASI:
· Pemeriksaan darah : leu-kosit.
Pemberian obat-obatan :
· antibiotika dan TT (Toksoid Tetanus).
· Persiapan untuk operasi sesuai indikasi.
· Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi.
· Meminimalkan terjadinya kontaminasi.
· Mencegah kontami-nasi dan kemungkinan infeksi silang.
· Merupakan indikasi adanya osteomilitis.
· Leukosit yang meningkat artinya su-dah terjadi proses infeksi .
· Untuk mencegah kelanjutan terjadinya infeksi dan pen-cegahan tetanus.
· Mempercepat proses penyembuhan luka dan dan pence-gahan peningkatan infeksi.
5.Gangguan aktivitas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler skeletal, nyeri, im-mobilisasi.
INDEPENDEN:
· Kaji tingkat immobilisasi yang disebabkan oleh edema dan persepsi pasien tentang immobilisasi tersebut.
· Mendorong partisipasi dalam aktivitas rekreasi (menonton TV, membaca koran dll ).
· Menganjurkan pasien untuk melakukan latihan pasif dan aktif pada yang cedera maupun yang tidak.
· Membantu pasien dalam perawatan diri
· Auskultasi bising usus, monitor kebiasaan eliminasi dan menganjurkan agar b.a.b. teratur.
· Memberikan diit tinggi protein, vitamin, dan mineral.
KOLABORASI :
Konsul dengan bagian fisio-terapi.
· Pasien akan membatasi gerak karena salah persepsi (persepsi tidak proporsional).
· Memberikan kesem-patan untuk mengeluarkan energi, memusatkan perhatian, meningkatkan perasaan, mengontrol diri pasien dan mem-bantu dalam mengu-rangi isolasi sosial.
· Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk mening-katkan tonus otot, mempertahankan mobilitas sendi, mencegah kontraktur/atropi dan reapsorbsi Ca yang tidak digunakan.
· Meningkatkan keku-atan dan sirkulasi otot, meningkatkan pasien dalam mengontrol situasi, meningkatkan kemauan pasien untuk sembuh
· Bedrest, penggunaan analgetika dan perubahan diit dapat menyebabkan penurunan peristaltik usus dan konstipasi.
· Mempercepat proses penyembuhan, mencegah penurunan BB, karena pada immobilisasi biasanya terjadi pe-nurunan BB.
· Untuk menentukan program latihan.
6.Kurangnya pengetahuan ttg kondisi, prognosa, dan pengobatan berhubungan dengan kesalahan dalam penafsiran, tidak familier dengan sumber in formasi
INDEPENDEN:
· Menjelaskan tentang kelainan yg muncul prognosa, dan harapan yang akan datang.
· Memberikan dukungan cara-cara mobilisasi dan ambulasi sebagaimana yang di anjurkan oleh bagian fisio-terapi.
· Memilah-milah aktifitas yg bisa mandiri dan yang harus dibantu.
· Mengidentifikasi pelayanan umum yang tersedia seperti tim rehabilitasi, perawat keluarga (home care).
· Mendiskusikan tentang perawatan lanjutan.
· Pasien mengetahui kondisi saat ini dan hari depan sehingga pasien dapat menen-tukan pilihan..
· Sebagian besar fraktur memerlukan penopang dan fiksasi selama proses penyembuhan sehingga keterlambatan penyembuhan disebab-kan oleh penggunaan alat bantu yang ku-rang tepat.
· Mengorganisasikan kegiatan yang diperlukan dan siapa yang perlu menolongnya (apakah fisioterapist, perawat atau keluarga).
· Membantu memfasilitasi perawatan mandiri, memberi support untuk mandiri.
· Penyembuhan fraktur tulang kemungkinan lama (kurang lebih 1 tahun) sehingga perlu disiapkan untuk perencanaan perawatan lanjutan dan pasien kooperatif.






ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)


TUBERKULOSIS PARU (TB PARU)

A. Pengertian
Rata Tengah
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Kuman batang tanhan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit. Ada beberapa mikrobakteria patogen , tettapi hanya strain bovin dan human yang patogenik terhadap manusia. Basil tuberkel ini berukuran 0,3 x 2 sampai 4
μm, ukuran ini lebih kecil dari satu sel darah merah.


B. Etiologi

Penyebabnya adalah kuman microorganisme yaitu mycobacterium tuberkulosis dengan ukuran panjang 1 – 4 um dan tebal 1,3 – 0,6 um, termasuk golongan bakteri aerob gram positif serta tahan asam atau basil tahan asam.


C. Patofisiologi

Penularan terjadi karena kuman dibatukan atau dibersinkan keluar menjadi droflet nuklei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1 – 2 jam, tergantung ada atau tidaknya sinar ultra violet. dan ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana yang gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari – hari bahkan berbulan, bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang yang sehat akan menempel pada alveoli kemudian partikel ini akan berkembang bisa sampai puncak apeks paru sebelah kanan atau kiri dan dapat pula keduanya dengan melewati pembuluh linfe, basil berpindah kebagian paru – paru yang lain atau jaringan tubuh yang lain.
Setelah itu infeksi akan menyebar melalui sirkulasi, yang pertama terangsang adalah limfokinase, yaitu akan dibentuk lebih banyak untuk merangsang macrofage, berkurang tidaknya jumlah kuman tergantung pada jumlah macrofage. Karena fungsinya adalah membunuh kuman / basil apabila proses ini berhasil & macrofage lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya tahan tubuhnya akan meningkat.
Tetapi apabila kekebalan tubuhnya menurun maka kuman tadi akan bersarang didalam jaringan paru-paru dengan membentuk tuberkel (biji – biji kecil sebesar kepala jarum).
Tuberkel lama kelamaan akan bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama timbul perkejuan ditempat tersebut.apabila jaringan yang nekrosis dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah pecah, maka klien akan batuk darah (hemaptoe).


D. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada klien secara obyektif adalah :
  1. Keadaan postur tubuh klien yang tampak etrangkat kedua bahunya.
  2. BB klien biasanya menurun; agak kurus.
  3. Demam, dengan suhu tubuh bisa mencapai 40 - 41° C.
  4. Batu lama, > 1 bulan atau adanya batuk kronis.
  5. Batuk yang kadang disertai hemaptoe.
  6. Sesak nafas.
  7. Nyeri dada.
  8. Malaise, (anorexia, nafsu makan menurun, sakit kepala, nyeri otot, berkeringat pada malam hari).

E. Pemeriksaan Penunjang
  1. Kultur sputum : positif untuk mycobakterium pada tahap akhir penyakit.
  2. Ziehl Neelsen : (pemakaian asam cepat pada gelas kaca untuk usapan cairan darah) positif untuk basil asam cepat.
  3. Test kulit : (PPD, Mantoux, potongan vollmer) ; reaksi positif (area durasi 10 mm) terjadi 48 – 72 jam setelah injeksi intra dermal. Antigen menunjukan infeksi masa lalu dan adanya anti body tetapi tidak secara berarti menunjukan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa TB aktif tidak dapat diturunkan atau infeksi disebabkan oleh mycobacterium yang berbeda.
  4. Elisa / Western Blot : dapat menyatakan adanya HIV.
  5. Foto thorax ; dapat menunjukan infiltrsi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer atau efusi cairan, perubahan menunjukan lebih luas TB dapat masuk rongga area fibrosa.
  6. Histologi atau kultur jaringan ( termasuk pembersihan gaster ; urien dan cairan serebrospinal, biopsi kulit ) positif untuk mycobakterium tubrerkulosis.
  7. Biopsi jarum pada jarinagn paru ; positif untuk granula TB ; adanya sel raksasa menunjukan nekrosis.
  8. Elektrosit, dapat tidak normal tergantung lokasi dan bertanya infeksi ; ex ;Hyponaremia, karena retensi air tidak normal, didapat pada TB paru luas. GDA dapat tidak normal tergantung lokasi, berat dan kerusakan sisa pada paru.
  9. Pemeriksaan fungsi pada paru ; penurunan kapasitas vital, peningkatan ruang mati, peningkatan rasio udara resido dan kapasitas paru total dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkhim / fibrosis, kehilangan jaringan paru dan penyakit pleural (TB paru kronis luas).

F. Penatalaksanaan

Dalam pengobatan TB paru dibagi 2 bagian :
  1. Jangka pendek.
    Dengan tata cara pengobatan : setiap hari dengan jangka waktu 1 – 3 bulan.
    • Streptomisin inj 750 mg.
    • Pas 10 mg.
    • Ethambutol 1000 mg.
    • Isoniazid 400 mg.
Kemudian dilanjutkan dengan jangka panjang, tata cara pengobatannya adalah setiap 2 x seminggu, selama 13 – 18 bulan, tetapi setelah perkembangan pengobatan ditemukan terapi.
Therapi TB paru dapat dilakkukan dengan minum obat saja, obat yang diberikan dengan jenis :
    • INH.
    • Rifampicin.
    • Ethambutol.
Dengan fase selama 2 x seminggu, dengan lama pengobatan kesembuhan menjadi 6-9 bulan.
  1. Dengan menggunakan obat program TB paru kombipack bila ditemukan dalam pemeriksan sputum BTA ( + ) dengan kombinasi obat :
    • Rifampicin.
    • Isoniazid (INH).
    • Ethambutol.
    • Pyridoxin (B6).





















ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TUBERKULOSIS PARU
(TB PARU)

A. Pengkajian
  1. Aktivitas / istirahat.
    Gejala :
    • Kelelahan umum dan kelemahan.
    • Nafas pendek karena bekerja.
    • Kesulitan tidur pada malam atau demam pada malam hari, menggigil dan atau berkeringat.
    • Mimpi buruk.

Tanda :
    • Takhikardi, tachipnoe, / dispnoe pada kerja.
    • Kelelahan otot, nyeri dan sesak (pada tahap lanjut).

  1. Integritas Ego.
    Gejala :
    • Adanya faktor stres lama.
    • Masalah keuanagan, rumah.
    • Perasaan tak berdaya / tak ada harapan.
    • Populasi budaya.

Tanda :
    • Menyangkal. (khususnya selama tahap dini).
    • Ancietas, ketakutan, mudah tersinggung.

  1. Makanan / cairan.
    Gejala :
    • Anorexia.
    • Tidak dapat mencerna makanan.
    • Penurunan BB.

Tanda :
    • Turgor kulit buruk.
    • Kehilangan lemak subkutan pada otot.

  1. Nyeri / kenyamanan.
    Gejala :
    • Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

Tanda :
    • Berhati-hati pada area yang sakit.
    • Perilaku distraksi, gelisah.

  1. Pernafasan.
    Gejala :
    • Batuk produktif atau tidak produktif.
    • Nafas pendek.
    • Riwayat tuberkulosis / terpajan pada individu terinjeksi.

Tanda :
    • Peningkatan frekuensi nafas.
    • Pengembangan pernafasan tak simetris.
    • Perkusi dan penurunan fremitus vokal, bunyi nafas menurun tak secara bilateral atau unilateral (effusi pleura / pneomothorax) bunyi nafas tubuler dan / atau bisikan pektoral diatas lesi luas, krekels tercatat diatas apeks paru selam inspirasi cepat setelah batuk pendek (krekels – posttusic).
    • Karakteristik sputum ; hijau purulen, mukoid kuning atau bercampur darah.
    • Deviasi trakeal ( penyebaran bronkogenik ).
    • Tak perhatian, mudah terangsang yang nyata, perubahan mental ( tahap lanjut ).

  1. Keamanan.
    Gejala :
    • Adanya kondisi penekana imun, contoh ; AIDS, kanker, tes HIV positif (+)

Tanda :
    • Demam rendah atau sakit panas akut.

  1. Interaksi sosial.
    Gejala :
    • Perasaan isolasi / penolakan karena penyakit menular.
    • Perubahan pola biasa dalam tangguang jaawab / perubahan kapasitas fisik untuk melaksankan peran.

  1. Penyuluhan / pembelajaran.
    Gejala :
    • Riwayat keluarga TB.
    • Ketidakmampuan umum / status kesehatan buruk.
    • Gagal untuk membaik / kambuhnya TB.
    • Tidak berpartisipasi dalam therapy.

B. Diagnosa keperawatan Yang Muncul
  1. Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.

C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1. :
Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan sekresi yang kental/darah.
Tujuan : Kebersihan jalan napas efektif.
Kriteria hasil :
  • Mencari posisi yang nyaman yang memudahkan peningkatan pertukaran udara.
  • Mendemontrasikan batuk efektif.
  • Menyatakan strategi untuk menurunkan kekentalan sekresi.


Intervensi :
  • Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
    R/ Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  • Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
    R/ Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
  • Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
    R/ Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
  • Lakukan pernapasan diafragma.
    R/ Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
  • Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut. Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
    R/ Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.
  • Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
    R/ Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.
  • Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
    R/ Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.
  • Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
    R/ Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
  • Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian expectoran, pemberian antibiotika, konsul photo toraks.
    R/ Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
Diagnosis Keperawatan 2. :
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar-kapiler.
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria hasil :
  • Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif.
  • Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
  • Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi :
  • Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
    R/ Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
  • Observasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
    R/ Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.
  • Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
    R/Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  • Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
    R/ Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
  • Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
    R/ Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
  • Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Dengan dokter : pemberian antibiotika, pemeriksaan sputum dan kultur sputum, konsul photo toraks.
    R/Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges. E. Marylin.
1992.Nursing Care Plan. EGC. Jakarta.
Pearce. C. Evelyn. 1990.Anatomi dan Fisiologi untuk paramedis. Jakarta.

 





A. Pengertian
Keratitis ulseratif yang lebih dikenal sebagai ulserasi kornea yaitu terdapatnya destruksi (kerusakan) pada bagian epitel kornea. (Darling,H Vera, 2000, hal 112)
IB. Etiologi
Faktor penyebabnya antara lain:
1. Kelainan pada bulu mata (trikiasis) dan sistem air mata (insufisiensi air mata, sumbatan saluran lakrimal), dan sebagainya
2. Faktor eksternal, yaitu : luka pada kornea (erosio kornea), karena trauma, penggunaan lensa kontak, luka bakar pada daerah muka
3. Kelainan-kelainan kornea yang disebabkan oleh : oedema kornea kronik, exposure-keratitis (pada lagophtalmus, bius umum, koma) ; keratitis karena defisiensi vitamin A, keratitis neuroparalitik, keratitis superfisialis virus.
4. Kelainan-kelainan sistemik; malnutrisi, alkoholisme, sindrom Stevens-Jhonson, sindrom defisiensi imun.
5. Obat-obatan yang menurunkan mekaniseme imun, misalnya : kortikosteroid, IUD, anestetik lokal dan golongan imunosupresif.

Secara etiologik ulkus kornea dapat disebabkan oleh :
-Bakteri
Kuman yang murni dapat menyebabkan ulkus kornea adalah streptokok pneumoniae, sedangkan bakteri lain menimulkan ulkus kornea melalui faktor-faktor pencetus diatas.
-Virus : herpes simplek, zooster, vaksinia, variola
-Jamur : golongan kandida, fusarium, aspergilus, sefalosporium
-Reaksi hipersensifitas
-Reaksi terhadap stapilokokus (ulkus marginal), TBC (keratokonjungtivitis flikten), alergen tak diketahui (ulkus cincin)
(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60)
C. Tanda dan Gejala
- Pada ulkus yang menghancurkan membran bowman dan stroma, akan menimbulkan sikatrik kornea.
- Gejala subyektif pada ulkus kornea sama seperti gejala-gejala keratitis. Gejala obyektif berupa injeksi silier, hilangnya sebagian jaringan kornea dan adanya infiltrat. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi iritis disertai hipopion.
- Fotofobia
- Rasa sakit dan lakrimasi
(Darling,H Vera, 2000, hal 112)







D . MACAM-MACAM ULKUS KORNEA SECARA DETAIL
Ulkus kornea dibagi dalam bentuk :
1. Ulkus kornea sentral meliputi:
a. Ulkus kornea oleh bakteri
Bakteri yang ditemukan pada hasil kultur ulkus dari kornea yang tidak ada faktor pencetusnya (kornea yang sebelumnya betul-betul sehat) adalah :
- Streptokokok pneumonia
- Streptokokok alfa hemolitik
- Pseudomonas aeroginosa
- Klebaiella Pneumonia
- Spesies Moraksella

Sedangkan dari ulkus kornea yang ada faktor pencetusnya adalah bakteri patogen opportunistik yang biasa ditemukan di kelopak mata, kulit, periokular, sakus konjungtiva, atau rongga hidung yang pada keadaan sistem barier kornea normal tidak menimbulkan infeksi. Bakteri pada kelompok ini adalah :
- Stafilokukkus epidermidis
- Streptokokok Beta Hemolitik
- Proteus

Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok
Bakteri kelompok ini yang sering dijumpai pada kultur dari infeksi ulkus kornea adalah :
- streptokok pneumonia (pneumokok)
- streptokok viridans (streptokok alfa hemolitik0
- streptokok pyogenes (streptokok beta hemolitik)
- streptokok faecalis (streptokok non-hemolitik)

Walaupun streptokok pneumonia adalah penyebab yang biasa terdapat pada keratitis bakterial, akhir-akhir ini prevalensinya banyak digantikan oleh stafilokokus dan pseudomonas.

Ulkus oleh streptokok viridans lebih sering ditemukan mungkin disebabkan karena pneumokok adalah penghuni flora normal saluran pernafasan, sehingga terdapat semacam kekebalan. Streptokok pyogenes walaupun seringkali merupakan bakteri patogen untuk bagian tubuh yang lain, kuman ini jarang menyebabkan infeksi kornea. Ulkus oleh streptokok faecalis didapatkan pada kornea yang ada faktor pencetusnya.

Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Streptokokok
Ulkus berwarna kuning keabu-abuan, berbetuk cakram dengan tepi ulkus menggaung. Ulkus cepat menjalar ke dalam dan menyebabkan perforasi kornea, karen aeksotoksin yang dihasilkan oleh streptokok pneumonia
Pengobatan : Sefazolin, Basitrasin dalam bentuk tetes, injeksi subkonjungtiva dan intra vena

Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus
Infeksi oleh Stafilokokus paling sering ditemukan. Dari 3 spesies stafilokokus Aureus, Epidermidis dan Saprofitikus, infeksi oleh Stafilokokus Aureus adalah yang paling berat, dapat dalam bentuk : infeksi ulkus kornea sentral, infeksi ulkus marginal, infeksi ulkus alergi (toksik).

Infeksi ulkus kornea oleh Stafilokokus Epidermidis biasanya terjadi bila ada faktor penceus sebelumnya seperti keratopati bulosa, infeksi herpes simpleks dan lensa kontak yang telah lama digunakan.

Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri Stafilokokkus
Pada awalnya berupa ulkus yang berwarna putih kekuningan disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epithel. Apabila tidak diobati secara adekuat, akan terjadi abses kornea yang disertai oedema stroma dan infiltrasi sel lekosit. Walaupun terdapat hipopion ulkus sering kali indolen yaitu reaksi radangnya minimal. Infeksi kornea marginal biasanya bebas kuman dan disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap Stafilokokus Aureus.

Ulkus kornea oleh bakteri Pseudomonas
Berbeda dengan ulkus kornea sebelumnya, pada ulkus pseudomonas bakteri ini ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Bakteri pseudomonas bersifat aerob obligat dan menghasilkan eksotoksin yang menghambat sintesis protein. Keadaan ini menerangkan mengapa pada ulkus pseudomonas jaringan kornea cepat hancur dan mengalami kerusakan. Bakteri pseudomonas dapat hidup dalam kosmetika, cairan fluoresein, cairan lensa kontak.

Gambaran Klinis Ulkus kornea oleh bakteri pseudomonas
Biasanya dimulai dengan ulkus kecil dibagian sentral kornea dengan infiltrat berwarna keabu-abuan disertai oedema epitel dan stroma. Ulkus kecil ini dengan cepat melebar dan mendalam serta menimbulkan perforasi kornea. Ulkus mengeluarkan discharge kental berwarna kuning kehijauan.
Pengobatan : gentamisin, tobramisin, karbesilin yang diberikan secara lokal, subkonjungtiva serta intra vena.

Ulkus kornea oleh virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simpleks cukup sering dijumpai. Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral.

c.Ulkus kornea oleh jamur
Ulkus kornea oleh jamur banyak ditemukan, hal ini dimungkinkan oleh :
- Penggunaan antibiotika secara berlebihan dalam jangka waktu yang lama atau pemakaian kortikosteroid jangka panjang

- Fusarium dan sefalosporium menginfeksi kornea setelah suatu trauma yang disertai lecet epitel, misalnya kena ranting pohon atau binatang yang terbang mengindikasikan bahwa jamur terinokulasi di kornea oleh benda atau binatang yang melukai kornea dan bukan dari adanya defek epitel dan jamur yang berada di lingkungan hidup.
-
- Infeksi oleh jamur lebih sering didapatkan di daerah yang beriklim tropik, maka faktor ekologi ikut memberikan kontribusi.


 
Fusarium dan sefalosporium terdapat dimana-mana, ditanah, di udara dan sampah organik. Keduanya dapat menyebabkan penyakit pada tanaman dan pada manusia dapat diisolasi dari infeksi kulit, kuku, saluran kencing.

Aspergilus juga terdapat dimana-mana dan merupakan organisme oportunistik , selain keratitis aspergilus dapat menyebabkan endoftalmitis eksogen dan endogen, selulitis orbita, infeksi saluran lakrimal.

Kandida adalah jamur yang paling oportunistik karena tidak mempunyai hifa (filamen) menginfeksi mata yang mempunyai faktor pencetus seperti exposure keratitis, keratitis sika, pasca keratoplasti, keratitis herpes simpleks dengan pemakaian kortikosteroid.

Pengobatan : Pemberian obat anti jamur dengan spektrum luas, apabila memungkinkan dilakukan pemeriksaan laboratorium dan tes sensitifitas untuk dapat memilih obat anti jamur yang spesifik.


2. Ulkus marginal
Ulkus marginal adalah peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat atau dapat juga rektangular (segiempat) dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea yang sehat dengan limbus. Ulkus marginal dapat ditemukan pada orang tua dan sering dihubungkan dengan penyakit rematik atau debilitas. Dapat juga terjadi ebrsama-sama dengan radang konjungtiva yang disebabkan oleh Moraxella, basil Koch Weeks dan Proteus Vulgaris. Pada beberapa keadaan dapat dihubungkan dengan alergi terhadap makanan. Secara subyektif ; penglihatan pasien dengan ulkus marginal dapat menurun disertai rasa sakit, lakrimasi dan fotofobia. Secara obyektif : terdapat blefarospasme, injeksi konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang sejajar dengan limbus.

Pengobatan : Pemberian kortikosteroid topikal akan sembuh dalam 3 hingga 4 hari, tetapi dapat rekurens. Antibiotika diberikan untuk infeksi stafilokok atau kuman lainnya. Disensitisasi dengan toksoid stafilokkus dapat memberikan penyembuhan yang efektif.


a. Ulkus cincin
Merupakan ulkus kornea perifer yang dapat mengenai seluruh lingkaran kornea, bersifat destruktif dan biasaya mengenai satu mata.
Penyebabnya adalah reaksi alergi dan ditemukan bersama-sama penyakit disentri basile, influenza berat dan penyakit imunologik. Penyakit ini bersifat rekuren.
Pengobatan bila tidak erjad infeksi adalah steroid saja.

b. Ulkus kataral simplek
Letak ulkus peifer yang tidak dalam ini berwarna abu-au dengan subu terpanjag tukak sejajar dengan limbus. Diantara infiltrat tukak yang akut dengan limbus dtepiya terlihat bagian yang bening.
Terjadi ada pasien lanut usia.
Pengobatan dengan memberikan antibiotik, steroid dan vitamin.

c. Ulkus Mooren
Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adaya kecenderungan untuk perforasi. Gambaran khasnya yaitu terdapat tepi tukak bergaung dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak lama. Tukak ini berhenti jika seluuh permukaan kornea terkenai.
Penyebabya adalah hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, virus atau autoimun.

Keluhannya biasanya rasa sakit berat pada mata.
Pengobatan degan steroid, radioterapi. Flep konjungtiva, rejeksi konjungtiva, keratektomi dan keratoplasti.
(Sidarta Ilyas, 1998, 57-60)

E. Penatalaksanaan :
Pasien dengan ulkus kornea berat biasanya dirawat untuk pemberian berseri (kadang sampai tiap 30 menit sekali), tetes antimikroba dan pemeriksaan berkala oleh ahli opthalmologi. Cuci tangan secara seksama adalah wajib. Sarung tangan harus dikenakan pada setiap intervensi keperawatan yang melibatkan mata. Kelopak mata harus dijaga kebersihannya, dan perlu diberikan kompres dingin. Pasien dipantau adanya peningkatan tanda TIO. Mungkin diperlukan asetaminofen untuk mengontrol nyeri. Siklopegik dan midriatik mungkin perlu diresep untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Tameng mata (patch) dan lensa kontak lunak tipe balutan harus dilepas sampai infeksi telah terkontrol, karena justru dapat memperkuat pertumbuhan mikroba. Namun kemudian diperlukan untuk mempercepat penyembuhan defek epitel.

F. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Kartu mata/ snellen telebinokuler (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan )
b. Lapang penglihatan
c. Pengukuran tonografi : mengkaji TIO, normal 12 - 25 mmHg
d. Pemeriksaan oftalmoskopi
e. Pemeriksaan Darah lengkap, LED
f. Pemeriksaan EKG
g. Tes toleransi glukosa

G. Pengkajian :
a. Aktifitas / istirahat : perubahan aktifitas
b. Neurosensori : penglihatan kabur, silau
c. Nyeri : ketidaknyamanan, nyeri tiba-tiba/berat menetap/tekanan pada & sekitar mata
d. Keamanan : takut, ansietas








Diagnosa Keperawatan : (Dongoes, 2000)
a. Ketakutan atau ansietas berhubungan dengan kerusakan sensori dan kurangnya pemahaman mengenai perawatan pasca operatif, pemberian obat
Intervensi Keperawatan:
- Kaji derajat dan durasi gangguan visual
- Orientasikan pasien pada lingkungan yang baru
- Jelaskan rutinitas perioperatif
- Dorong untuk menjalankan kebiasaan hidup sehari-hari bila mampu
- Dorong partisipasi keluarga atau orang yang berarti dalam perawatan pasien.

b. Risiko terhadap cedera yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan
Intervensi Keperawatan :
- Bantu pasien ketika mampu melakukan ambulasi pasca operasi sampai stabil
- Orientasikan pasien pada ruangan
- Bahas perlunya penggunaan perisai metal atau kaca mata bila diperlukan
- Jangan memberikan tekanan pada mata yang terkena trauma
- Gunakan prosedur yang memadai ketika memberikan obat mata

c. Nyeri yang berhubungan dengan trauma, peningkatan TIO, inflamasi intervensi bedah atau pemberian tetes mata dilator

Intervensi Keperawatan :
- Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai resep
- Berikan kompres dingin sesuai permintaan untuk trauma tumpul
- Kurangi tingkat pencahayaan
- Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya kuat

d. Potensial terhadap kurang perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan penglihatan

Intervensi Keperawatan :
- Beri instruksi pada pasien atau orang terdekat mengenai tanda dan gejala, komplikasi yang harus segera dilaporkan pada dokter
- Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang yang berarti mengenai teknik yang benar dalam memberikan obat
- Evaluasi perlunya bantuan setelah pemulangan
- Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan

Kunjung Web kami dibawah ini :
http://akperppni.ac.id               

 







SUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) VERTIGO


VERTIGO


A. Pengertian

Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar. Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan pusing. Dari (http://www.kalbefarma.com).


B. Etiologi

Menurut (Burton, 1990 : 170) yaitu :
  1. Lesi vestibular :
    • Fisiologik
    • Labirinitis
    • Menière
    • Obat ; misalnya quinine, salisilat.
    • Otitis media
    • “Motion sickness”
    • “Benign post-traumatic positional vertigo”
  2. Lesi saraf vestibularis
    • Neuroma akustik
    • Obat ; misalnya streptomycin
    • Neuronitis
    • vestibular
  3. Lesi batang otak, serebelum atau lobus temporal
    • Infark atau perdarahan pons
    • Insufisiensi vertebro-basilar
    • Migraine arteri basilaris
    • Sklerosi diseminata
    • Tumor
    • Siringobulbia
    • Epilepsy lobus temporal
Menurut (http://www.kalbefarma.com)
  1. Penyakit Sistem Vestibuler Perifer :
    • Telinga bagian luar : serumen, benda asing.
    • Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan.
    • Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi, hidrops labirin (morbus Meniere ), mabuk gerakan, vertigo postural.
    • Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor.
    • Inti Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks.
  2. Penyakit SSP :
    • Hipoksia Iskemia otak. : Hipertensi kronis, arterios-klerosis, anemia, hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung.
    • Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues.
    • Trauma kepala/ labirin.
    • Tumor.
    • Migren.
    • Epilepsi.
  3. Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal, keadaan menstruasi-hamil-menopause.
  4. Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia.
  5. Kelainan mata: kelainan proprioseptik.
  6. Intoksikasi.

C. Patofisiologi

Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan pro-prioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis.
Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.
Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya (http://www.kalbefarma.com).


D. Klasifikasi Vertigo

Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok :
  1. Vertigo paroksismal
    Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan. Vertigo jenis ini dibedakan menjadi :
    • Yang disertai keluhan telinga :
      Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen.
    • Yang tanpa disertai keluhan telinga :
      Termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de L'enfance), Labirin picu (trigger labyrinth).
    • Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi :
      Termasuk di sini adalah : Vertigo posisional paroksismal laten, Vertigo posisional paroksismal benigna.
  2. Vertigo kronis
    Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 47) serangan akut, dibedakan menjadi:
    • Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin.
    • Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin.
    • Vertigo yang dipengaruhi posisi : Hipotensi ortostatik, Vertigo servikalis.
  3. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang, dibedakan menjadi :
    • Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria vestibulokoklearis.
    • Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior.
Ada pula yang membagi vertigo menjadi :
  1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler.
  2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual.

D. Manifestasi klinik

Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lemah, puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis.


E. Pemerikasaan Penunjang
  1. Pemeriksaan fisik :
    • Pemeriksaan mata
    • Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh
    • Pemeriksaan neurologik
    • Pemeriksaan otologik
    • Pemeriksaan fisik umum.
  2. Pemeriksaan khusus :
    • ENG
    • Audiometri dan BAEP
    • Psikiatrik
  3. Pemeriksaan tambahan :
    • Laboratorium
    • Radiologik dan Imaging
    • EEG, EMG, dan EKG.

F. Penatalaksanaan Medis

Terapi menurut (Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004: 48) :
Terdiri dari :
  1. Terapi kausal
  2. Terapi simtomatik
  3. Terapi rehabilitatif.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN VERTIGO


A. Pengkajian
  1. Aktivitas / Istirahat
    • Letih, lemah, malaise
    • Keterbatasan gerak
    • Ketegangan mata, kesulitan membaca
    • Insomnia, bangun pada pagi hari dengan disertai nyeri kepala.
    • Sakit kepala yang hebat saat perubahan postur tubuh, aktivitas (kerja) atau karena perubahan cuaca.
  2. Sirkulasi
    • Riwayat hypertensi
    • Denyutan vaskuler, misal daerah temporal.
    • Pucat, wajah tampak kemerahan.
  3. Integritas Ego
    • Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu
    • Perubahan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan depresi
    • Kekhawatiran, ansietas, peka rangsangan selama sakit kepala
    • Mekanisme refresif/dekensif (sakit kepala kronik).
  4. Makanan dan cairan
    • Makanan yang tinggi vasorektiknya misalnya kafein, coklat, bawang, keju, alkohol, anggur, daging, tomat, makan berlemak, jeruk, saus, hotdog, MSG (pada migrain).
    • Mual/muntah, anoreksia (selama nyeri)
    • Penurunan berat badan
  5. Neurosensoris
    • Pening, disorientasi (selama sakit kepala)
    • Riwayat kejang, cedera kepala yang baru terjadi, trauma, stroke.
    • Aura ; fasialis, olfaktorius, tinitus.
    • Perubahan visual, sensitif terhadap cahaya/suara yang keras, epitaksis.
    • Parastesia, kelemahan progresif/paralysis satu sisi tempore
    • Perubahan pada pola bicara/pola pikir
    • Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
    • Penurunan refleks tendon dalam
    • Papiledema.
  6. Nyeri/ kenyamanan
    • Karakteristik nyeri tergantung pada jenis sakit kepala, misal migrain, ketegangan otot, cluster, tumor otak, pascatrauma, sinusitis.
    • Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
    • Fokus menyempit
    • Fokus pada diri sendiri
    • Respon emosional / perilaku tak terarah seperti menangis, gelisah.
    • Otot-otot daerah leher juga menegang, frigiditas vokal.
  7. Keamanan
    • Riwayat alergi atau reaksi alergi
    • Demam (sakit kepala)
    • Gangguan cara berjalan, parastesia, paralisis
    • Drainase nasal purulent (sakit kepala pada gangguan sinus).
  8. Interaksi sosial
    • Perubahan dalam tanggung jawab/peran interaksi sosial yang berhubungan dengan penyakit.
  9. Penyuluhan / pembelajaran
    • Riwayat hypertensi, migrain, stroke, penyakit pada keluarga
    • Penggunaan alcohol/obat lain termasuk kafein. Kontrasepsi oral/hormone, menopause.

B. Diagnosa Keperawatan (Doengoes, 1999:2021)
  1. Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospressor, peningkatan intrakranial ditandai dengan menyatakan nyeri yang dipengaruhi oleh faktor misal, perubahan posisi, perubahan pola tidur, gelisah.
  2. Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.
  3. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.

C. Intervensi

Diagnosa Keperawatan 1. :
Nyeri (akut/kronis) berhubungan dengan stress dan ketegangan, iritasi/ tekanan syaraf, vasospasme, peningkatan intrakranial ditandai dengan menyatakan nyeri yang dipengaruhi oleh faktor misal, perubahan posisi, perubahan pola tidur, gelisah.
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria Hasil :
  • Klien mengungkapkan rasa nyeri berkurang
  • Tanda-tanda vital normal
  • pasien tampak tenang dan rileks.

Intervensi :
  • Pantau tanda-tanda vital, intensitas/skala nyeri.
    Rasional : Mengenal dan memudahkan dalam melakukan tindakan keperawatan.
  • Anjurkan klien istirahat ditempat tidur.
    Rasional : istirahat untuk mengurangi intesitas nyeri.
  • Atur posisi pasien senyaman mungkin
    Rasional : posisi yang tepat mengurangi penekanan dan mencegah ketegangan otot serta mengurangi nyeri.
  • Ajarkan teknik relaksasi dan napas dalam
    Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan dan membuat perasaan lebih nyaman.
  • Kolaborasi untuk pemberian analgetik.
    Rasional : analgetik berguna untuk mengurangi nyeri sehingga pasien menjadi lebih nyaman.

Diagnosa Keperawatan 2. :
Koping individual tak efektif berhubungan dengan ketidak-adekuatan relaksasi, metode koping tidak adekuat, kelebihan beban kerja.
Tujuan : koping individu menjadi lebih adekuat
Kriteria Hasil :
  • Mengidentifikasi prilaku yang tidak efektif
  • Mengungkapkan kesadaran tentang kemampuan koping yang di miliki.
  • Mengkaji situasi saat ini yang akurat
  • Menunjukkan perubahan gaya hidup yang diperlukan atau situasi yang tepat.
Intervensi :
  • Kaji kapasitas fisiologis yang bersifat umum.
    Rasional : Mengenal sejauh dan mengidentifikasi penyimpangan fungsi fisiologis tubuh dan memudahkan dalam melakukan tindakan keperawatan.
  • Sarankan klien untuk mengekspresikan perasaannya.
    Rasional : klien akan merasakan kelegaan setelah mengungkapkan segala perasaannya dan menjadi lebih tenang.
  • Berikan informasi mengenai penyebab sakit kepala, penenangan dan hasil yang diharapkan.
    Rasional : agar klien mengetahui kondisi dan pengobatan yang diterimanya, dan memberikan klien harapan dan semangat untuk pulih.
  • Dekati pasien dengan ramah dan penuh perhatian, ambil keuntungan dari kegiatan yang dapat diajarkan.
    Rasional : membuat klien merasa lebih berarti dan dihargai.

Diagnosa Keperawatan 3. :
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, tidak mengenal informasi dan kurang mengingat ditandai oleh memintanya informasi, ketidak-adekuatannya mengikuti instruksi.
Tujuan : pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan proses pengobatan.
Kriteria Hasil :
  • Melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
  • Memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi :
  • Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
    Rasional : megetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
  • Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
    Rasional : dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
  • Diskusikan penyebab individual dari sakit kepala bila diketahui.
    Rasional : untuk mengurangi kecemasan klien serta menambah pengetahuan klien tetang penyakitnya.
  • Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
    Rasional : mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.
  • Diskusikan mengenai pentingnya posisi atau letak tubuh yang normal
    Rasional : agar klien mampu melakukan dan merubah posisi/letak tubuh yang kurang baik.
  • Anjurkan pasien untuk selalu memperhatikan sakit kepala yang dialaminya dan faktor-faktor yang berhubungan.
    Rasional : dengan memperhatikan faktor yang berhubungan klien dapat mengurangi sakit kepala sendiri dengan tindakan sederhana, seperti berbaring, beristirahat pada saat serangan.

C. Evaluasi

Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999:28)
Tujuan Pemulangan pada vertigo adalah :
  1. Nyeri dapat dihilangkan atau diatasi.
  2. Perubahan gaya hidup atau perilaku untuk mengontrol atau mencegah kekambuhan.
  3. Memahami kebutuhan atau kondisi proses penyakit dan kebutuhan terapeutik.

DAFTAR PUSTAKA

Lynda Juall carpernito, Rencana Asuhan keperawatan dan dokumentasi keperawatan, Diagnosis Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, ed. 2, EGC, Jakarta, 1999.
Marilynn E. Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian pasien, ed.3, EGC, Jakarta, 1999.
http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/14415 Terapi Akupunktur untuk Vertigo.pdf/144_15TerapiAkupunkturuntukVertigo.html
Kang L S,.
Pengobatan Vertigo dengan Akupunktur, Cermin Dunia Kedokteran No. 144, Jakarta, 2004.
Kunjungi ; http://askep –akper.blogsspot.com

 




Chefalgia

A. Pengertian
Chefalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit dan dapat menunjukkan penyakit organik (neurologi atau penyakit lain), respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala tegang) atau kombinasi respon tersebut (Brunner & Suddart).


B. Klasifikasi dan Etiologi
Klasifikasi sakit kepala yang paling baru dikeluarkan oleh Headache Classification Cimitte of the International Headache Society sebagai berikut:
  1. Migren (dengan atau tanpa aura)
  2. Sakit kepal tegang
  3. Sakit kepala klaster dan hemikrania paroksismal.
  4. Berbagai sakit kepala yang dikatkan dengan lesi struktural.
  5. Sakit kepala dikatkan dengan trauma kepala.
  6. Sakit kepala dihubungkan dengan gangguan vaskuler (mis. Perdarahan
    subarakhnoid).
  7. Sakit kepala dihuungkan dengan gangguan intrakranial non vaskuler (mis. Tumor otak).
  8. Sakit kepala dihubungkan dengan penggunaan zat kimia tau putus obat.
  9. Sakit kepala dihubungkan dengan infeksi non sefalik.
  10. Sakit kepala yang dihubungkan dengan gangguan metabolik (hipoglikemia).
  11. Sakit kepala atau nyeri wajah yang dihubungkan dengan gangguan kepala, leher atau struktur sekitar kepala ( mis. Glaukoma akut).
  12. Neuralgia
    kranial (nyeri menetap berasal dari saraf kranial)


C. Patofisiologi
Sakit kepala timbul sebagai hasil perangsangan terhadap bangunan-bangunan diwilayah kepala dan leher yang peka terhadap nyeri. Bangunan-bangunan ekstrakranial yang peka nyeri ialah otot-otot okspital, temporal dan frontal, kulit kepala, arteri-arteri subkutis dan periostium. Tulang tengkorak sendiri tidak peka nyeri. Bangunan-bangunan intrakranial yang peka nyeri terdiri dari meninges, terutama dura basalis dan meninges yang mendindingi sinus venosus serta arteri-arteri besar pada basis otak. Sebagian besar dari jaringan otak sendiri tidak peka nyeri.

Perangsangan terhadap bangunan-bangunan itu dapat berupa :
  • Infeksi selaput otak : meningitis, ensefalitis.
  • Iritasi kimiawi terhadap selaput otak seperti pada perdarahan subdural atau setelah dilakukan pneumo atau zat kontras ensefalografi.
  • Peregangan selaput otak akibat proses desak ruang intrakranial, penyumbatan jalan lintasan liquor, trombosis venos spinosus, edema serebri atau tekanan intrakranial yang menurun tiba-tiba atau cepat sekali.
  • Vasodilatasi arteri intrakranial akibat keadaan toksik (seperti pada
    infeksi umum, intoksikasi alkohol, intoksikasi CO, reaksi alergik), gangguan metabolik (seperti hipoksemia, hipoglikemia dan hiperkapnia), pemakaian obat
    vasodilatasi, keadaan paska contusio serebri, insufisiensi serebrovasculer akut).
  • Gangguan pembuluh darah ekstrakranial, misalnya vasodilatasi ( migren dan cluster headache) dan radang (arteritis temporalis).
  • Gangguan terhadap otot-otot yang mempunyai hubungan dengan kepala, seperti pada spondiloartrosis deformans servikalis.
  • Penjalaran nyeri (reffererd pain) dari daerah mata (glaukoma, iritis), sinus (sinusitis), baseol kranii (ca. Nasofaring), gigi geligi (pulpitis dan molar III yang mendesak gigi) dan daerah leher (spondiloartritis deforman servikalis.
  • Ketegangan otot kepala, leher bahu sebagai manifestasi psikoorganik pada keadaan depresi dan stress. Dalam hal ini sakit kepala sininim dari pusing kepala.


D. Manifestasi Klinis
  1. Migren
Migren adalah gejala kompleks yang mempunyai karakteristik pada waktu tertentu dan serangan sakit kepala berat yang terjadi berulang-ulang. Penyebab
migren tidak diketahui jelas, tetapi ini dapat disebabkan oleh gangguan vaskuler primer yang biasanya banyak terjadi pada wanita dan mempunyai kecenderungan kuat dalam keluarga.

Tanda dan gejala adanya migren pada serebral merupakan hasil dari derajat iskhemia kortikal yang bervariasi. Serangan dimulai dengan vasokonstriksi arteri kulit kepala
dam pembuluh darah retina dan serebral. Pembuluh darah intra dan ekstrakranial mengalami dilatasi, yang menyebabkan nyeri dan ketidaknyamanan.
Migren klasik dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
    • Fase aura.
Berlangsung lebih kurang 30 menit, dan dapat memberikan kesempatan bagi pasien untuk menentukan obat yang digunakan untuk mencegah serangan yang dalam. Gejala dari periode ini adalah gangguan penglihatan ( silau ), kesemutan, perasaan gatal pada wajah dan tangan, sedikit lemah pada ekstremitas dan pusing.

Periode aura ini berhubungan dengan vasokonstriksi tanpa nyeri yang diawali dengan perubahan fisiologi awal. Aliran darah serebral berkurang, dengan kehilangan autoregulasi laanjut dan kerusakan responsivitas CO2.

    • Fase sakit kepala
Fase sakit kepala berdenyut yang berat dan menjadikan tidak mampu yang dihungkan dengan fotofobia, mual dan muntah. Durasi keadaan ini bervariasi,
beberapa jam dalam satu hari atau beberapa hari.

    • Fase pemulihan
Periode kontraksi otot leher dan kulit
kepala yang dihubungkan dengan sakit otot dan ketegangan lokal. Kelelahan biasanya terjadi, dan pasien dapat tidur untuk waktu yang panjang.

  1. Cluster Headache
Cluster Headache adalah beentuk sakit kepal vaskuler lainnya yang sering terjadi pada pria. Serangan datang dalam bentuk yang menumpuk atau berkelompok, dengan nyeri yang menyiksa didaerah mata dan menyebar kedaerah wajah dan temporal. Nyeri diikuti mata berair dan sumbatan hidung. Serangan berakhir dari 15 menit sampai 2 jam yang menguat dan menurun kekuatannya.
Tipe sakit kepala ini dikaitkan dengan dilatasi didaerah dan sekitar arteri ekstrakranualis, yang ditimbulkan oleh alkohol, nitrit, vasodilator dan histamin. Sakit kepala ini berespon terhadap klorpromazin.

  1. Tension Headache
Stress fisik dan emosional dapat menyebabkan kontraksi pada otot-otot leher dan kulit kepala, yang menyebabkan sakit kepala karena tegang.
Karakteristik dari sakit kepala ini perasaan ada tekanan pada dahi, pelipis, atau belakang leher. Hal ini sering tergambar sebagai “beban berat yang menutupi kepala”.
Sakit kepala ini cenderung kronik daripada berat. Pasien membutuhkan ketenangan hati, dan biasanya keadaan ini merupakan ketakutan yang tidak terucapkan. Bantuan
simtomatik mungkin diberikan untuk memanaskan pada lokasi, memijat, analgetik, antidepresan dan obat relaksan otot.




Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Chefalgia


A. Pengkajian
Data subyektif dan obyektif sangat penting untuk menentukan tentang penyebab dan sifat dari sakit kepala.
    1. Data Subyektif
      • Pengertian pasien tentang sakit kepala dan kemungkinan penyebabnya.
      • Sadar tentang adanya faktor pencetus, seperti stress.
      • Langkah – langkah untuk mengurangi gejala seperti obat-obatan.
      • Tempat, frekwensi, pola dan sifat sakit kepala termasuk tempat nyeri, lama dan interval diantara sakit kepala.
      • Awal serangan sakit kepala.
      • Ada gejala prodomal atau
        tidak.
      • Ada gejala yang menyertai.
      • Riwayat sakit kepala dalam keluarga (khusus penting sekali bila migren).
      • Situasi yang membuat sakit kepala lebih parah.
      • Ada alergi atau tidak.
    2. Data Obyektif
      • Perilaku : gejala yang memperlihatkan stress, kecemasan atau nyeri.
      • Perubahan kemampuan dalam melaksanakan aktifitas sehari – hari.
      • Terdapat pengkajian anormal dari sistem pengkajian fisik sistem saraf
        cranial.
      • Suhu badan
      • Drainase dari sinus.

Dalam pengkajian sakit kepala, beberapa butir penting perlu dipertimbangkan.
Diantaranya ialah :
    • Sakit kepala yang terlokalisir biasanya berhubungan dengan sakit kepala migrain atau gangguan organik.
    • Sakit kepala yang menyeluruh biasanya disebabkan oleh penyebab psikologis atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
    • Sakit kepala migren dapat berpindah dari satu sisi kesisi yang lain.
    • Sakit kepala yang disertai peningkatan tekanan intrakranial biasanya timbil pada waktu bangun tidur atau sakit kepala tersebut
      membengunkan pasien dari tidur.
    • Sakit kepala tipe sinus timbul pada pagi hari dan semakin siang menjadi lebih buruk.
    • Banyak sakit kepala yang berhubungan dengan kondisi stress.
    • Rasa nyeri yang tumpul, menjengkelkan, menghebat dan terus ada, sering terjadi pada sakit kepala yang psikogenis.
    • Bahan organis yang menimbulkan nyeri yang tetap dan sifatnya bertambah
      terus.
    • Sakit kapala migrain bisa menyertai mentruasi.sakit kepala bisa didahului makan makanan yang mengandung monosodium glutamat, sodim nitrat, tyramine
      demikian juga alkohol.
    • Tidur terlalu lama, berpuasa, menghirup bau-bauan yang toksis dalam limngkungan kerja dimana ventilasi tidak cukup dapat menjadi penyebab sakit kepala.
    • Obat kontrasepsi oral dapat memperberat migrain.
    • Tiap yang ditemukan sekunder dari sakit kepala perlu dikaji.


B. Diagnostik
1.      CT Scan, menjadi mudah dijangkau sebagai cara yang mudah dan aman untuk menemukan abnormalitas pada susunan saraf pusat.
  1. MRI Scan, dengan tujuan mendeteksi kondisi patologi otak dan medula spinalis dengan menggunakan tehnik scanning dengan kekuatan magnet untuk membuat bayangan struktur tubuh.

  1. Pungsi lumbal, dengan mengambil cairan serebrospinalis untuk pemeriksaan. Hal ini tidak dilakukan bila diketahui terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan tumor otak, karena penurunan tekanan yang mendadak akibat pengambilan CSF.


B. Dagnosa Keperawatan
1.      Nyeri b.d stess dan ketegangan, iritasi/tekanan saraf, vasospasme, peningkatan tekana intrakranial.
2.      Koping individual tak efektif b.d situasi krisis, kerentanan personal, sistem pendukung tidak adequat, kelebihan beban kerja, ketidakadequatan relaksasi, metode koping tidak adequat, nyeri berat, ancaman berlebihan pada diri sendiri.
3.      Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang mengingat, tidak mengenal informasi, keterbatasab kognitif.


C. Rencana Asuhan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan 1. :
Nyeri b.d stess dan ketegangan, iritasi/tekanan saraf, vasospasme, peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
  • Pastikan durasi/episode masalah , siapa yang telah dikonsulkan, dan obat dan/atau terapi apa yang telah digunakan.
  • Teliti keluhan nyeri, catat itensitasnya ( dengan skala 0-10 ), karakteristiknya (misal : berat, berdenyut, konstan) lokasinya, lamanya, faktor yang memperburuk atau meredakan.
  • Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya otak / meningeal / infeksi sinus, trauma servikal, hipertensi atau trauma.
  • Observasi adanya tanda-tanda nyeri nonverbal, seperi : ekspresi wajah, posisi tubuh, gelisah, menangis/meringis, menarik diri, diaforesis, perubahan frekuensi jantung/pernafasan, tekanan darah.
  • Kaji hubungan faktor fisik/emosi dari keadaan seseorang.
  • Evaluasi perilaku nyeri
  • Catat adanya pengaruh nyeri misalnya: hilangnya perhatian pada hidup, penurunan aktivitas, penurunan berat badan.
  • Kaji derajat pengambilan langkah yang keliru secara pribadi dari pasien, seperti mengisolasi diri.
  • Tentukan isu dari pihak kedua untuk pasien/orang terdekat, seperti asuransi, pasangan/keluarga.
  • Diskusikan dinamika fisiologi dari ketegangan/ansietas dengan pasien/orang terdekat.
  • Instruksikan pasien untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri itu
    timbul.
  • Tempatkan pada ruangan yang agak gelap sesuai dengan indikasi.
  • Anjurkan untuk beristirahat didalam ruangan yang tenang.
  • Berikan kompres dingin pada kepala.
  • Berikan kompres panans lembab/kering pada kepala, leher, lengan sesuai kebutuhan.
  • Masase daerah kepala/leher/lengan jika pasien dapat mentoleransi sentuhan.
  • Gunakan teknik sentuhan yang terapeutik, visualisasi, biofeedback, hipnotik sendiri, dan reduksi stres dan teknik relaksasi yang lain.
  • Anjurkan pasien untuk menggunakan pernyataan positif “Saya sembuh, saya sedang relaksasi, Saya suka hidup ini”. Sarankan pasien untuk menyadari dialog eksternal-internal dan katakan “berhenti” atau “tunda” jika muncul pikiran yang negatif.
  • Observasi adanya mual/muntah. Berikan es, minuman yang mengandung karbonat sesuai indikasi.


Diagnosa Keperawatan 2. :
Koping individual tak efektif b.d situasi krisis, kerentanan personal, sistem pendukung tidak adequat, kelebihan beban kerja, ketidakadequatan
relaksasi, metode koping tidak adequat, nyeri berat, ancaman berlebihan pada diri sendiri.

Intervensi
  • Dekati pasien dengan ramah dan penuh perhatian. Ambil keuntungan dari kegiatan yang daoat diajarkan.
  • Bantu pasien dalam memahami perubahan pada konsep citra tubuh.
  • Sarankan pasien untuk mengepresikan perasaannya dan diskusi bagaimana sakit kepala itu mengganggu kerja dan kesenangan dari hidup ini.
  • Pastikan dampak penyakitnya terhadap kebutuhan seksual.
  • Berikan informasi mengenai penyebab sakit kepala, penagnan, dan hasil yang diharapkan.
  • Kolaborasi : Rujuk untuk melakukan konseling dan/atau terapi keluarga atau kelas tempat pelatihan sikap asertif sesuai indikasi.











Diagnosa Keperawatan 3. :
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b.d kurang mengingat, tidak mengenal informasi, keterbatasab kognitif.
Intervensi :
  • Diskusikan etiologi individual dari saki kepala bila diketahui.
  • Bantu pasien dalam mengidentifikasikan kemungkinan faktor predisposisi, seperti stress emosi, suhu yang berlebihan, alergi terhadap makanan/lingkungan tertentu.
  • Diskusikan tentang obat-obatan dan efek sampingnya. Nilai kembali kebutuhan untuk menurunkan/menghentikan pengobatan sesuai indikasi.
  • Instruksikan pasien/orang terdekat dalam melakukan program kegiatan/latihan , makanan yang dikonsumsi, dan tindakan yang menimbukan rasa nyaman, seprti masase dan sebagainya.
  • Diskusikan mengenai posisi/letak tubuh yang normal.
  • Anjurkan pasien/orang terdekat untuk menyediakan waktu agar dapat relaksasi dan bersenang-senang.
  • Anjurkan untuk menggunakan aktivitas otak dengan benar, mencintai dan tertawa/tersenyum.
  • Sarankan pemakaian musik-musik yang menyenangkan.
  • Anjurkan pasien untuk memperhatikan sakit kepala yang dialaminya dan faktor-faktor yang berhubungan atau faktor presipitasinya.
  • Berikan informasi tertulis/semacam catatan petunjuk.
  • Identifikasi dan diskusikan timbulnya resiko bahaya yang tidak nyata dan/atau terapi yang bukan terapi medis.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Barbara C Long, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, Bandung.
  2. Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
  3. Marlyn E. Doengoes, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untukPerencanaan & Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta.
  4. Priguna Sidharta, 1994, Neurogi Klinis dalam Praktek Umum, Dian Rakyat, Jakarta.
  5. Susan Martin Tucker, 1998, Standar Perawatan Pasien : Proses Perawatan, Diagnosa dan Evaluasi, Edisi V, Vol 2, EGC, Jakarta.
  6. Sylvia G. Price, 1997, Patofisologi, konsep klinik proses – proses penyakit. EGC, Jakarta.
  7. kunjungi; http://askep-akper.blogspot.com

 


LAPORAN PENDAHULUAN : TARUMA KEPALA

 

BAB I
PENDAHULUAN


A Latar Belakang
Trauma kepala meliputi trauma kepala, tengkorak dan otak. Trauma kepala paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologis yang serius diantara penyakit neurlogis lainnya serta mempunyai proporsi epidemik sebagai hasil kecelakaan jalan raya.
Lebih dari setengah dari semua pasien dengan trauma kepala berat mempunyai signifikansi terhadap cedera bagian tubuh lainnya. Adanya shock hipovolemik pada pasien trauma kepala biasanya karena adanya cedera bagian tubuh lainnya.
Resiko utama pasien yang mengalami trauma kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (PTIK).

B. Tujuan
Umum
Mengetahui konsep teori, masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
Khusus
Mengetahui pengertian trauma kepala.
Mengetahui etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala.
Mengetahui masalah keperawatan dan asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.

C. Ruang Lingkup
Makalah ini akan membahas konsep teori tentang trauma kepala dan masalah keperawatan pasien dengan trauma kepala serta asuhan keperawatan pasien dengan trauma kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
Minor
SKG 13 – 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
Sedang
SKG 9 – 12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
Dapat mengalami fraktur tengkorak.
Berat
SKG 3 – 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

Etiologi
Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
Cedera akibat kekerasan.


Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

Manifestasi Klinis
Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
Kebungungan
Iritabel
Pucat
Mual dan muntah
Pusing kepala
Terdapat hematoma
Kecemasan
Sukar untuk dibangunkan
Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Komplikasi
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Herniasi

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
Rotgen Foto
CT Scan
MRI

Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
Observasi 24 jam
Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
Anak diistirahatkan atau tirah baring.
Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
Pemberian obat-obat analgetik.
Pembedahan bila ada indikasi.

Rencana Pemulangan
Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum.
Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.




BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
Pemeriksaan fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
Sistem saraf :
Kesadaran à GCS.
Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.



B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.

Intervensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
Pemberian oksigen sesuai program.

Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan: Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi:
Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi).
tekanan pada vena leher.
pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
Monitor intake dan out put.
Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi:
Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
Perawatan kateter bila terpasang.
Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:
Kaji intake dan out put.
Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
Berikan cairan intra vena sesuai program.

Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan: Anak terbebas dari injuri.
Intervensi:
Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
Berikan analgetik sesuai program.

Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan: Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
Kurangi rangsangan.
Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan: Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi:
Kaji adanya drainage pada area luka.
Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan: Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi:
Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
Gunakan komunikasi terapeutik.

Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi:
Lakukan latihan pergerakan (ROM).
Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
Kaji area kulit: adanya lecet.
Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.



BAB IV
KESIMPULAN


Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.



DAFTAR PUSTAKA

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik, Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

 






NEBULEZER
DEFINISI
 Adalah alat yang digunakan   untuk merubah obat dari bentuk cair ke bentuk partikel aerosol.bentuk aerosol ini sangat bermanfaat apabila dihirup atau dikumpulkan dalam organ paru. Efek dari pengobatan ini adalah untuk mengembalikan kondisi spasme bronkus.
 Adalah alat medis yang digunakan
* untuk memberikan cairan obat dalam bentuk uap/ aerosol ke dalam saluran pernafasan.
* Alat dengan mesin tekanan udara yang membantu untuk pengobatan asma dalam bentuk uap/ aerosol basah. Terdiri dari tutup, “ mouthpiece” yang dihubungkan dengan suatu bagian atau masker, pipa plastik yang dihubungkan ke mesin tekanan udara.

B. JENIS NEBULIZER
* “Disposible nebulizer”, sangat ideal apabila digunakan dalam situasi kegawatdaruratan/ ruang gawat darurat atau di rumah sakit dengan perawatan jangka pendek. Apabila nebulizer di tempatkan di rumah daapt digunakan beberapa kali lebih dari satu kali , apabila dibersihkan setelah digunakan. Dan dapat terus dipakai sampai dengan 2 minggu apabila dibersihkan secara teratur.
Daapt digunakan oleh orangtua, babysitter, saat bepergian, sekolah, atau untuk persediaan apabila terjadi suatu serangan.

 “Re-usable nebulizer” , dapat digunakan
* lebih lama sampai kurang lebih 6 bulan. Keuntungan lebih dari nebulizer jenis ini adalah desainnya yang lebih komplek dan dapat menawarkan suatu perawatan dengan efektivitas yang ditingkatkan dari dosis pengobatan. Keuntungan kedua adalah dapt direbus untuk proses desinfeksi.
Digunakan untuk terapi setiap hari

C. MODEL-MODEL NEBULIZER
 Nebulizer dengan penekan udara ( Nebulizer compressors ),
* memberikan tekanan udara dari pipa ke tutup ( cup ) yang berisi obat cair. Kekuatan dari tekanan udara akan memecah cairan ke dalam bentuk partikel- partikel uap kecil yang daapt dihirup secara dalam ke saluran pernafasan.
 Nebulizer ultrasonik ( ultrasonic nebulizer),
* menggunakan gelombang ultrasound, untuk secara perlahan merubah dari bentuk obat cair ( catatan: pulmicort tidak dapat digunakan pada sebagian nebulizer ultrasonic) ke bentu uap/ aerosol basah.
* Nebulizer generasi baru ( A new generation of nebulizer)digunakan tanpa menggunakan tekanan udara maupun ultrasound. Alqat ini sangat kecil, dioperasikan dengan menggunakan baterai, dan tidak berisik.

D. INDIKASI DARI PERAWATAN DENGAN MENGGUNAKAN NEBULIZER.

 Rasa
* tertekan di dada
 Peningkatan produksi secret.
*
 Pneumonia (
* kongesti) dan atau atelektasis.

E. KONTRAINDIKASI PERAWATAN DENGAN MENGGUNAKAN NEBULIZER.
 Tekanan darah tinggi ( autonomic
* hiperrefleksia)
 Nadi yang meningkat/ takikardia
*
 Riwayat
* reaksi yang tidak baik dari pengobatan.

F. ALAT-ALAT YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI PERNAPASAN DENGAN NEBULIZER.
 Nebulizer.
*
* Tabung tekanan udara (untuk menjalankan nebulizer)
 Selang oksigen.
*
* Obat-obatan untuk pernapasan.
 Nacl.
*

G. KERUSAKAN/ KOMPLIKASI-KOMPLIKASI
 Henti nafas.
*
 Dosis yang kurang tepat
* karena kurang tepat dalam menggunakan alat ataupun tekniknya.
* Kurang dalam pemberian obat karena malfungsi dari alat tsb.
* Pemberian dosis tinggi dari beta agonis akan menyebabkan efek yang tidak baik pada system sekunder penyerapan dari obat tsb. Hipokalemia dan atrial atau ventricular disritmia dapat ditemui pada pasien dengan kelebihan dosis.
 Spasme bronkus atau iritasi pada saluran
* pernapasan
 Alat aerosol atau adapter yang digunakan
* dan teknik penggunaan dapat mempengaruhi penampilan karakter dari ventilator terhadap sensitifitas system alarm.
 Penambahan gas pada circuit
* ventilator dari nebulizer dapat meningkatkan volume, aliran dan tekanan puncak saluran udara.
 Penambahan gas pada ventilator dari
* nebulizer juga dapat menyebabkan kipas ventilator tidak berjalan selama proses nebulasi.





H. PROSEDUR PERAWATAN DENGAN NEBULIZER
1. Letakkan kompresor udara pada permukaan yang mendukung untuk beratnya. Lepaskan selang dari kompresor .
2. sebelum melakukan perawatan ini, cuci tangan terlebih dahulu dengan subun kemudian keringkan.
3. hati-hati dalam menghitung pengobatan secara tepat sesuai dengan perintah dan letakkan dalam tutup nebulizer.
4. pasang/ gunakan tutup nebulizer dan masker atau sungkup.
5. Hubungkan pipa ke kompresor aerosol dan tutup nebulizer.
6. nyalakan kompresor untuk memastikan alat tersebut bekerja dengan baik.
7. duduk dalam posisi tegak baik dalam pangkuan atau kursi.
8. apabila menggunakan masker, letakkan dalam posisi yang tepat dan nyaman pada bagian wajah.
9. apabila menggunakan (mouthpiece) letakkan secara tepat antara gigi dan lidah.
10. bernafaslah secara normal lewat mulut. Secara periodic ambil nafas dalam dan tahan selama 2 sampai 3 detik sebelum melepaskan nafas.
11. lanjutkan perawatan ini sampai obat habis ( antara 9 sampai 10 menit).
12. apabila pasien merasa pusing atau gelisah, hentikan perawatan dan istirahat selama kurang lebih 5 menit..


I. PERAWATAN NEBULIZER
1. Setelah digunakan / sehabis dipakai
* Lepaskan masker atau mouthpiece dan juga bagian yang berbentuk T” dari tutup. Pindahkan pipa atau selang dan rapikan disekitarnya. Selang atau pipa tidak boleh dicuci atau dibilas Bilas masker atau mouthpiece dan bagian penghubung dengan air hangat yang mengalir selama 30 detik. Gunakan air yang telah direbus atau air steril untuk membilas apabila memungkinkan
 Keringkan masker atau mouthpiece dengan kertas tissue
* atau diangin-anginkan.
 Rangkai kembali bagian-bagian tersebut
* seperti semula dan sambungkan ke kompresor
 Nyalakan mesin selama 10
* – 20 detik untuk mengeringkan bagian dalam dari nebulizer.
 Lepas
* kembali selang dari pipa kompresor. Masukkan nebulizer ke dalam tas plastic tertutup


2. Satu kali sehari
 Lepaskan masker
* atau mouthpiece dan juga bagian yang berbentuk T” dari tutup. Pindahkan pipa atau selang dan rapikan disekitarnya. Selang atau pipa tidak boleh dicuci atau dibilas
 Cuci masker atau mouthpiece dan bagian
* penghubung atau penyambung dengan air mengalir atau sabun cuci dan air hangat.
 Bilas dengan disemprot air selama 30 detik. Gunakan dengan
* air yang telah direbus atau air steril bila memungkinkan
o Keringkan masker atau mouthpiece dengan kertas tissue atau diangin-anginkan.
o Rangkai kembali bagian-bagian tersebut seperti semula dan sambungkan ke kompresor
o Nyalakan mesin selama 10 – 20 detik untuk mengeringkan bagian dalam dari nebulizer.
o Lepas kembali selang dari pipa kompresor. Masukkan nebulizer ke dalam tas plastic tertutup

3. Satu kali atau dua kali dalam seminggu
 Lepaskan masker atau
* mouthpiece dan juga bagian yang berbentuk T” dari tutup. Pindahkan pipa atau selang dan rapikan disekitarnya. Selang atau pipa tidak boleh dicuci atau dibilas Cuci masker atau mouthpiece dan bagian penghubung atau penyambung dengan air mengalir atau sabun cuci dan air hangat.
* Bilas dengan disemprot air selama 30 detik
 Rendam selama 30 menit
* dalam cairan cuka dan air matang 1 : 2, dan cairan tersebut sekali pakai.
 Bilas bagian-bagian nebulizer
* dan juga spuit obat dengan air hangat yang dialirkan untuk 1 menit. Gunakan air matang atau air steril bila memungkinkan.
o Keringkan masker atau mouthpiece dengan kertas tissue atau diangin-anginkan.
o Rangkai kembali bagian-bagian tersebut seperti semula dan sambungkan ke kompresor
o Nyalakan mesin selama 10 – 20 detik untuk mengeringkan bagian dalam dari nebulizer.
o Lepas kembali selang dari pipa kompresor. Masukkan nebulizer ke dalam tas plastic tertutup
 Bersihkan permukaan mesin kompresor dengan
* kain lembab, kain dibasahi sabun, atau spons. Bisa juga dengan alcohol atau desinfektan. Jangan pernah meletakkan mesin kompresor udara dalam air.

J. PERAWATAN SECARA UMUM
a. Tutup kompresor dengan menggunakan penutup yang bersih. Jaga agar tetap kering dengan menyeka dengan kain bersih dan lembab.
b. Jangan meletakkan kompresor udara di lantai.
c. Periksa filter kompresor udara secara langsung.
d. Obat-obatan harus diletakkan pada tempat yang kering dan dingin. Periksa beberapa kali. Apabila terjadi perubahan warna atau menjadi kristal, segera buang dang anti dengan obat yang baru.